Kacamata Rere

Sudah setengah jam lebih Rere mematut diri di cermin dengan mengubah-ubah gaya rambutnya. Tapi, bagaimanapun rambut panjangnya diubah gaya, tetap saja tidak dapat menutupi ketebalan kacamata minus barunya itu. Ini membuat Rere kecewa.
“Ya, Tuhan… mengapa Kau berikan cobaan yang begitu berat ini padaku?” batin Rere. Hatinya benar-benar sedih karena minus matanya naik lagi, yang kiri satu dan yang kanan juga satu. Kini genaplah kedua matanya minus sepuluh. Uh! Makin tebal aja tuh kacamata.
Rere menyudahi juga mematut diri di cermin. Ia hanya bisa pasrah menerima kenyataan ini. Meski hal-hal yang tak mengenakan terbayang dalam benaknya. Dengan kacamata minus barunya yang semakin tebal itu tentu Rere akan jadi bahan olok-olokan Bela `n gengnya. Bela `n gengnya itu emang benci banget dengan yang namanya Rere. Kebencian mereka kepada Rere lantaran sikap Rere yang mereka anggap sok idealis. Mentang-mentang murid paling pinter enggak pernah mau ngasih contekan. Tapi, yang lebih membuat Rere khawatir ialah tak ada cowok yang terpikat denganya lantaran kacamata tebalnya.
Airmata Rere meleleh. Kacamatanya itu serasa beban buatnya. Karena kacamatanya itulah sampai kini ia tak pernah memiliki pacar. Belum lagi di sekolah ia dijuluki si kacamata pantat botollah, si kutu bukulah. Tapi jika dijuluki si kutu buku itu memang tepat. Sejak kecil Rere memang hobi banget dengan yang namanya baca buku. Dari mulai komik, novel, sampai buku politik. Tak heran jika wawasan Rere melebihi rata-rata anak seusianya.

Re, kacamata lo ganti lagi ya?” tanya Dea saat berjalan menuju kantin sekolah. Rere mengangguk pelan.
“Pantesan keliatan makin tebal.”
Ah, yang dikhawatirkan Rere terbukti juga. Hanya dengan melihat sekilas saja ketebalan kacamatanya itu pasti kentara.
“Naik berapa, Re?”
“Dua.”
“Maksudnya yang kanan naik satu yang kiri naik satu, begitu?”
Rere kembali mengangguk lesu. Ia semakin tak bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabatnya itu.
“Gue heran, minus elo itu kok cepet banget sih naiknya. Coba deh elo rutin mengonsumsi wortel, mungkin minus mata elo bisa berkurang bahkan sembuh.”
Apa yang dikatakan Dea mungkin juga betul. Konon menurut orang-orang wortel dapat menurunkan minus. Tapi, Rere memang paling enggak seneng sama yang namanya wortel. Pernah suatu kali Rere muntah karena meminum jus wortel. Padahal, jus itu telah diberikan campuran madu dan buah-buahan lainnya.
Pada saat Rere dan Dea hendak masuk kantin Bela `n gengnya hendak masuk kantin juga.
“Eh, si kacamata pantat botol, apa kabar…?” Bela bertingkah genit dengan tangan digerak-gerakkan layaknya banci.
“Eh, si kutu buku aku kira siapa,” tegur salah seorang dari gengnya Bela itu.
Dea menarik lengan Rere ke dalam kantin. Dea tak ingin sahabatnya ini bertengkar dengan Bela `n geng. Tapi tiba-tiba saja Bela mencekal lengan Rere.
“Hai, kacamata lo ganti ya? Wah makin keren aja lo!” ucap Bela dengan mata berbinar. Rere tahu Bela memperoloknya. Rere berusaha sekuat mungkin menahan emosinya. Rere tak ingin berkelahi dengan Bela yang tomboi ini. Ya, enam bulan lalu Rere pernah berkelahi dengan Bela. Karena perkelahian itu Rere mengalami luka memar di beberapa bagian tubuh dan kacamatanya pecah. Apalagi sekarang Bela ditemani gengnya, sama saja dengan bunuh diri

“Riki si anak baru itu pasti deh langsung naksir elo,” celoteh yang lain. Kontan Bela `n gengnya itu tertawa terpingkal-pingkal. Hati Rere benar-benar sakit karena ejekan itu. Mana mungkin Riki anak baru di sekolah ini yang keren abis itu menyukainya. Di depan Bela `n geng Rere layaknya anak idiot.
Rere berlari keluar seraya menahan tangisnya. Rasa lapar diperutnya jadi hilang. Di belakang suara Dea terdengar memanggil-manggilnya di antara suara tawa tergelak milik Bela `n geng. Rere tak perduli. Rere masuk ke kelasnya. Di dalam kelasnya itulah Rere memuntahkan sakit hatinya dengan menangis.
Begitu bel pulang berbunyi, Rere segera memberesi buku-bukunya dan bergegas keluar. Rere tak ingin bertemu dengan Bela `n geng yang pastinya akan memperoloknya lagi. Di belakangnya Dea mengejar.
“Re, tunggu gue!”
Rere berhenti sejenak dan membalikkan tubuh. “Ayo, buruan….”
Dea berlari kecil menghampiri. “Re, elo mesti sabar, ya.”
Rere mengangguk. Memang hanya bersabarlah yang dapat Rere lakukan. Kedua sahabat ini berbincang-bincang dengan meneruskan perjalanan.
“Gue juga sedih dan marah ngeliat elo dipermainkan mereka. Bela `n gengnya itu emang keterlaluan. Tapi, baiknya elo cuekin aja omongan mereka, nanti juga mereka capek sendiri. Ejekan mereka itu `kan bukan yang pertama untuk elo. Seharusnya elo jadi kebal.”
“Gue malu banget saat mereka ngejek gue bakal ditaksir ama si Riki. Elo tau `kan si Riki itu cowok paling keren di sekolah kita. Masa dia mau naksir gue, itu sama aja dengan ngehina gue,” Rere berkata dengan berapi-api.
“Tapi, Re, mengenai Riki itu bisa aja terjadi.”
“Apa maksud elo?” Rere menghentikan langkahnya. Dea pun melakukan hal yang sama.
“Riki emang udah berapa kali nitip salam untuk elo ke gue. Hanya gue takut elo nganggap gue bohong kalo gue nyampein salamnya dia ke elo.”

“Kanapa elo juga ngejek gue seperti itu?” Mata Rere mulai berkaca-kaca. Ia tak mengira sahabatnya ikut-ikutan memperoloknya. Dengan hati hancur Rere berjalan tergesah meninggalkan Dea. Dea hanya berdiri mematung di tempatnya. Dea benar-benar tak mengira Rere akan salah tanggap seperti itu.
Bukan hanya Bela `n geng yang dihindari Rere, tapi juga Dea. Setiap kali Rere mengangkat telepon rumahnya dan tahu itu dari Dea, pasti Rere langsung menutupnya. Rere tak mau dengar penjelasan apa pun dari Dea. Walau sebenarnya Rere pun tidak mengerti mengapa Dea berkata seperti itu.
Seperti di siang itu sepulang dari sekolah Rere tidak langsung pulang, ia malah pergi ke pameran berbagai prodak yang setiap tahunnya diadakan pemerintah daerah dan digelar selama sepuluh hari. Ketika Rere tengah berjalan-jalan di pameran itu, Rere melihat beberapa meter di depannya Dea tengah asyik memilih-milih tas akar hasil kerajinan tangan masyarakat Baduy. Segera Rere memutar langkah. Namun, Dea keburu melihatnya dan langsung memanggilnya. Rere tak peduli. Dengan berjalan cepat dan sesekali berlari kecil Rere menghindar.
Rere berjalan menuju pintu gerbang. Di belakangnya Dea masih mengejar. Di perempatan, Rere sengaja tak menempuh jalur yang menuju jalan raya, tapi menuju jalan menuju perumahan. Pada sebuah pintu gerbang perumahan Rere masuk. Di dalam perumahan yang lumayan besar itu seenaknya Rere memasuki blok demi blok. Ia berharap Dea kehilangan jejaknya.
Setelah cukup lama berputar-putar di perumahan itu dan setelah yakin Dea kehilangan jejaknya, Rere berniat keluar menuju jalan raya. Namun, Rere tak ingat ke arah mana jalan keluar. Sementara tak ada seorang pun yang dapat Rere tanyai.

Di saat Rere tengah kebingungan sebuah suara memanggilanya, “Re!”
Kepalanya Rere celingukan mencari asal suara.
“Re! Rere!” Panggilan itu bertambah kencang.
Di sebuah rumah bercat warna-warni yang hanya berjarak beberapa meter, Rere melihat seorang cowok yang memanggil-manggilnya. Cowok itu tersenyum kepadanya. Cowok itu adalah Riki. Rere balas tersenyum, namun terlihat kaku. Sejak kacamatanya semakin menebal sikap Rere pada lawan jenis memang jadi dingin. Sesunguhnya itu semua karena rasa minder Rere.
Riki berjalan keluar dari gerbang rumahnya menghampiri Rere. “Elo sedang ngapain di sini, Re?”
“E… anu,” Rere jadi bingung harus menjawab apa. “Abis dari rumah temen,” lanjut Rere berdusta.
“Temennya di blok apa?”
“Di blok O,” jawab Rere sekenanya.
“Kok ada di blok ini?”
“Sebenernya gue mau ke jalan raya, tapi kayaknya gue nyasar.”
Riki lagi-lagi tersenyum. Jantung Rere jadi berdebar-debar melihat senyuman itu. Ah, Riki memang tampan. Betapa bahagianya cewek yang dapat menjadi kekasihnya, batin Rere.
“Nanti gue anter. Sekarang mampir dulu, yuk,” ajak Riki.
“Aduh thanks deh, Rik. Gue mau pulang aja,” tolak Rere.
“Kenapa? Nanti gue anter deh, bukan hanya sampe jalan, tapi sampe ke rumah lo.”
Rere serasa tak mempercayai pendengarannya. Masa cowok sekeren Riki mau mengantarnya pulang.
“Udah deh, mampir dulu yuk,” Riki menarik lembut lengan Rere. Dengan jantung yang kian kencang berdebar, Rere mengikuti kemauan Riki.
Setelah keduanya duduk di bangku teras, Riki langsung melontarkan pertanyaan, “Eh, iya, Dea nyampein salam gue enggak?”
Rere terkejut. Ia tak mengira apa yang dikatakan Dea itu benar adanya.
“Nyampein enggak?” tanya Riki lagi.

“Apa maksud elo nitip salam ke Dea untuk gue?” tanpa menjawab Rere malah balik tanya. Matanya menatap tajam ke wajah Riki.
“Elo mau gue berkata jujur?” Riki balas menatap mata Rere.
Rere mengangguk.
“Gue… gue suka elo.” Suara Riki terdengar bergetar.
“Bohong! Elo jangan coba permainkan gue, Rik!” Nada bicara Rere tiba-tiba meninggi.
“Kenapa, elo enggak percaya, Re?”
Rere bangkit dari duduknya dan bergegas mininggalkan tempat itu.
“Re, tunggu gue, Re.” Riki mengejar dan menangkap lengan Rere. “Kenapa elo? Elo enggak suka denger kejujuran hati gue?”
“Elo pasti ingin permainkan gue `kan?” Kedua mata Rere melotot.
“Swear.” Riki mengacungkan kedua jarinya.
Rere malah menangis. “Siapa yang ngebayar elo untuk ngelakuin sandiwara ini? Siapa Rik? Pasti Bela `n gengnya `kan?”
“Apa maksud elo, Re? Gue enggak ngerti.” Di raut wajah Riki terpancar rasa kebingungan.
“Elo pasti dibayar orang untuk mempermainkan perasaan gue. Elo buat gue geer terus elo akan hancurkan hati gue!”
“Gue masih enggak ngerti, Re….”
“Udah deh, Rik, elo jangan main sandiwara lagi. Enggak mungkin elo suka ama cewek kayak gue ini. Masih banyak cewek cantik yang mengharapkan elo. Sedangkan gue hanya cewek buruk berkacamata tebal.” Tangis Rere semakin menjadi.
Riki menyeka airmata Rere dengan dua ibu jarinya. “Re, kenapa elo enggak percaya dengan perkataan gue? Apakah cinta itu harus tumbuh karena keindahan fisik semata? Enggak, Re. Elo punya kelebihan kepintaran. Satu anugerah yang sifatnya lebih abadi ketimbang kecantikan. Re, elo percayakan kalo gue emang suka elo? Gue ingin punya pacar pintar seperti elo.”
Rere tetap saja menangis. Ia tak tahu perkataan Riki benar atau dusta. Namun, dalam hatinya Rere berdoa, semoga yang dikatakan Riki memang benar.

0 komentar:

Post a Comment