Mengapakau Tidak Mempercayaiku?

Ada satu kebiasaan yang disukai Musa dengan kotanya, Serang. Bahwa di sana senimannya kompak. Setiap tiga bulan sekali para seniman sering tampil di alun-alun kota. Yang pelukis mengadakan pameran lukisan, begitu juga dengan seniman lainnya. Mereka mempertontonkan kemampuan seninya. Biasanya acara dipusatkan pada malam hari. Masyarakat Serang tentu saja sangat senang dengan kenyataan ini. Orang tua, muda-mudi, menghabiskan sebagian malamnya di alun-alun kota.
Besok adalah hari Minggu, di mana pertunjukan kesenian tiga bulanan itu akan dilaksanakan. Sejak pagi sabtu ini, alun-alun sudah dirias. Belasan orang tampak menyiapkan lukisan-lukisannya untuk dipamerkan. Begitu juga dengan panggung, sudah diset. Sebagian masyarakat sudah pada berdatangan. Mereka begitu asyik dengan kebudayaan ini.
Musa, seorang anak SMA yang bangga kepada kotanya ini merogoh sakunya. Handphone-nya bergetar. Ia tatap monitornya, Tyka memanggil. Lalu handphone tersebut didekatkan ke telinga.
“Hallo, Tyka!”
“Ya, aku!” jawab Tyka. “Eh Musa, kamu jadikan ngajak aku malam ini nonton di alun-alun?”
Musa tidak menjawab.
“Tadi pagi aku sempat lewat ke alun-alun, lho. Rame banget. Kayaknya malam ini acaranya akan bagus.”
“Ya, aku juga tahu. Sekarang aku ada di alun-alun.”
“Yang bener?”
“Iya.”
“Tapi kamu kan janji mau ngajak aku nonton?”
“Mmm, gimana ya? Aku dengar Mama kamu sedang sakit. Terus Papa sedang tidak ada.”
“Iya sih.”
“Terus kalau kamu jadi nonton bareng aku, yang ngejagain Mama siapa?”
“Gak ada. Tapi mama sudah ngizinin, kok.”
“Ngizinin sih ngizinin. Tapi yang ngejagain siapa? Kalau ada apa-apa bagaimana?”
“Kata Mama, sakit Mama tidak parah. Mama masih bisa ngambil obat sendiri.”
Pembicaraan mereka agak lama terhenti. Lalu Musa bicara lagi. “Kalau boleh aku ngusulin, kamu nggak usah nonton deh. Sayang sama Mama nggak ada yang ngerawat….”
“Kok kamu begitu sih. Kamukan udah janji sama aku.”
“Iya, aku emang sudah janji. Tapi sekarang kondisinya berubah.”
“Nggak mau, aku pengen nonton. Kamu tidak boleh ingkar janji. Kamu udah janji abis magrib mau jemput aku.”
“Maaf Tyka. Aku tidak bisa. Kamu harus ngejagain Mama.”
“Kata Mama, nggak apa-apa ditinggalin, aku boleh nonton.”
“Nggak, kamu nggak boleh nonton. Kamu harus sayang sama Mama. Aku sendiri tidak akan ngejemput kamu. Aku akan nonton sendirian saja.”
“Bodo! Kamu nggak jemput, aku akan datang sendiri.”
“Aku bilang, kamu jangan nonton. Kamu harus jagain mama!”
Klik, Musa langsung menekan tombol ‘no’. Tombol tersebut ia tekan beberapa lama hingga HP-nya tidak aktif.
Musa membuktikan kata-katanya. Janjinya untuk menjemput Tyka ia batalkan. Beberapa kali panggilan Tyka tidak diangkatnya. Beberapa SMS Tyka masuk. Musa membacanya. Tapi tak satupun yang dibalasnya.
Malam itu Musa jalan sendiri dari rumahnya yang tidak terlalu jauh dari alun-alun. Yang ditujunya tidak ada tempat lain selain alun-alun. Selain dirinya, ratusan orang bergerak ke sana. Mereka tentu akan menikmati tontonan tiga bulanan ini. Di sana ada pameran lukisan, pentas teater, pertunjukan wayang golek, dan lain sebagainya. Semua dilaksanakan serempak. Setiap orang dipersilakan memilih pertunjukan yang disukainya.
Karena acara dimulai pukul delapan, sementara sekaran baru pukul enam tiga puluh, Musa memanfaatkan waktu yang ada dengan melihat-lihat pameran lukisan. Meskipun dia tidak bisa melukis, tapi dia sangat suka. Lukisan demi lukisan diperhatikannya. Nama pelukis dan harga yang tertera pada lukisan tidak luput diperhatikannya. Kalau saja murah dia pasti membelinya. Ini harganya puluhan juta, Bro!
Musa terus bergerak perlahan, dari satu lukisan ke lukisan berikutnya. Brosur yang kebetulan disediakan juga diambilnya. Tapi tidak dibacanya. brosur itu dimasukan ke kantong jaketnya. Dibacanya nanti saja. Sekarang acaranya menikmati lukisan-lukisan ini.
Sampai di satu lukisan, Musa kembali terdiam. Di sampingnya seorang gadis juga sedang mengagumi lukisan itu. Musa memperhatikan gadis tersebut. Perasaan dia pernah melihatnya. Tanpa sengaja gadis yang diperhatikannya menatap Musa. Musa jadi tidak enak.
“Maaf, kakak namanya Musa kan?”
Mendengar sapaan itu, Musa merasa nyaman. “Iya, namaku Musa. Perasaan aku pernah lihat kamu.”
“Masak Kakak sudah lupa aku. Aku Laela, adik kelas Kakak!”
Musa masih tampak berfikir.
“Kakak bener-bener lupa atau pura-pura nih. Inget nggak seminggu yang lalu, di depan gerbang sekolah kita kenalan?”
“Oo, iya, iya. Aku inget.” Musa tersenyum. “Kamu sendirian?” tanya Musa kemudian.
“Iya nih. Habis belum punya pacar sih. He he he. Kakak sendirian juga?”
“Iya!”
“Pacar Kakak ke mana?”
“Lagi ngejagain Mamanya.”
“Emang Mamanya kenapa?”
“Sakit.”
“Oo…”
Tiba-tiba HP Musa berbunyi. Sebuah SMS masuk. Musa membacanya. SMS tersebut dari Mamanya Tyka: Musa, mama minta tolong Tyka suruh pulang. sakit mama kayaknya kambuh. Tolong Sayang ya?
Musa jadi tercenung. Berarti Tyka membuktikan kata-katanya, bahwa dirinya akan tetap nonton sekalipun Mamanya sedang sakit. Ada perasaan kecewa dalam hati Musa, kenapa kekasihnya tidak menuruti usulannya. Sekarang dia tidak tahu Tyka posisinya ada di mana. Alun-alun kota ini sendiri luas. Musa juga yakin Mamanya Tyka sudah menghubungi Tyka. Tapi tidak nyambung. Akhirnya yang dilakukan Musa adalah membalas SMS itu. “Mah, sya tdk nnton bareng Tyka. Tadi sore sdh sya blng ke Tyka agr jga ma2. Tapi klo Tyka emng nnton, sya akn mncarinya.”
Musa lantas menatap Laela. “Acaranya banyak, kamu mau nonton apa?”
“Aku pengen nonton wayang golek. Kakak mau nonton apa?”
“Aku belum tahu. Mungkin wayang golek juga.”
“Kalau begitu kita jalan bareng aja yuk?”
Musa mengangguk. Keduanya lalu pergi meninggalkan ruang pameran. Sekalian mencari Tyka, batinnya. Setelah membalas SMS ke Mamanya Tyka, tadi Musa juga mengirim SMS ke Tyka memberi tahu agar dirinya pulang. Terus Musa juga nanya di mana posisi Tyka. Tapi SMS itu malah pending.
Bulan di sebelah timur bulat. Ukurannya besar. Langit tampak jernih, tidak ada mendung di sana. Awan putih tampak seperti kapas yang terhampar. Betul-betul indah. Sementara di alun-alun orang-orang sudah banyak. Ada yang berjalan, ada juga yang duduk-duduk di atas koran atau tikar. Orang-orang ini tersebar mengelilingi masing-masing pertunjukan yang disukainya.
Tiba di dekat panggung wayang golek, Musa dan Laela berhenti sebentar.
“Kakak bener mau nonton wayang golek? Kalau nggak, nggak apa-apa aku ditinggalin.”
“Aku belum tahu mau nonton yang mana. Kayaknya semuanya rame. Tapi untuk sementara, bolehlah kita nonton wayang golek dulu.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau nontonnya bagian depan?”
Musa mengangguk. Keduanya kembali pindah. Tidak jauh di depan panggung mereka duduk di tanah tanpa alas. Bunyi gong dan calung sudah terdengar, meskipun pertunjukan belum dimulai.
“Kamu mau makan apa?” tanya Musa. Kebetulan tidak jauh dari mereka ada yang jualan jagung dan kacang rebus.
“Mau nraktir nih ceritanya? Apa aja deh.”
Lalu Musa pesan dua jagung dan satu bungkus kacang rebus. Sambil menunggu pertunjukan dimulai, mereka terus ngobrol sambil menikmati jagung dan kecang rebusan yang baru saja dipesannya.
Setelah agak lama, pertunjukan wayang golekpun dimulai. Dan Musa memutuskan untuk menontonnya bareng dengan Laela. Beberapa menit kemudian, pandangan musa terhalang oleh orang yang berdiri di depannya. Musa merasa terganggung.
“Maaf yang berdiri tolong duduk!” teriak Musa.
Yang berdiri di depan Musa melirik. Dia merasa kenal dengan suara yang menyuruhnya. Begitu berbalik, yang kaget tidak hanya dirinya, melainkan juga Musa.
Gadis yang tadi menghalangi pemandangan Musa menghampiri. “Jadi kamu ngelarang aku nonton karena udah punya janji dengan pacar baru kamu?” tanya Tyka marah.
“Tyka, dengar dulu. Pacar aku itu hanya kamu.”
“Bo’ong! Buktinya dia.”
“Ya ampun, Tyka. Tidak boleh cepat menuduh. Kamu tahu dia siapa? Dia itu adik kelas aku. Aku saja baru kenal satu minggu ini.”
“Aku tidak mau tahu. Yang pasti kamu sudah nyakitiin aku. Kamu udah janji sama aku, kamu malah mengingkarinya. Kamu malah nonton dengan gadis lain. Kamu malah membiarkan aku nonton sendirian!”
“Tyka, dengar aku dulu. Pacar aku itu hanya kamu!”
“Kalau begitu kenapa kamu nonton bareng dia?!”
“Kebetulan aku ketemu di sini. Aku tinggalkan dia sekarang juga, dia tidak merasa ada masalah.”
“Lalu kenapa kamu tidak jadi ngajak aku nonton?”
“Tyka, Mama kamu kan sedang sakit.”
“Aku kan sudah bilang kalau Mama udah ngizinin!”
“Kamu tidak tahu Mama kamu ngubungin aku. Kamu katanya harus pulang. Coba buka HP kamu. Pasti SMS udah numpuk di sana. Aku juga udah kabari kamu kalau Mama kamu nyuruh kamu pulang!”
“HP-nya nggak aku bawa!”
Musa menghela nafas. “Kalau begitu, ayo aku antar pulang,” suara Musa pelan. “Aku khawatir ada apa-apa dengan Mama.”
“Ya sudah kalau begitu. Aku mau ke rumah kamu sekarang. Dan kamu jangan pernah menyesal kalau hal buruk terjadi pada Mama kamu.”
Setelah pamit kepada Laela, Musa lalu pergi. Tyka mengejarnya. “Kamu mau kemana?” tanya Tyka.
“Aku mau ke rumah kamu!”
Sampai di rumah Tyka, tidak ada siapa-siapa. Kata tetangga Mama Tyka sudah dibawa ke rumah sakit. Tyka kaget. Tyka dan Musa segera menuju ke sana. Dan memang, kata dokter jaga, Mama Tyka dengan di rawat di ruang gawat darurat. Dengan wajah sedih Tyka menatap Musa, kekasihnya. Perlahan dari sudut matanya air mengalir perlahan.
“Kenapa kamu sampai tidak percaya ke aku,” suara Musa pelan. “Aku melarang kamu nonton bukan karena aku mau pacaran lagi. Aku melarang kamu karena aku sayang sama kamu dan Mama kamu. Aku kan sudah pernah bilang, kalau aku tak akan ke mana.”
Tyka mengisak.
“Sudahlah,” kata Musa lagi. “Sekarang hubungi Papa kamu. Katakan kepadanya kalau Mama masuk ruang gawat darurat.”


OLEH :IBNU ADAM VICIENA

0 komentar:

Post a Comment