Arti Sebuah Sikap

ohn Blanford berdiri tegak dari bangku di Stasiun Kereta Api sambil
melihat ke arah jarum jam, pukul 6 kurang 6 menit. John sedang menunggu
seorang gadis yang dekat dalam hatinya tetapi tidak mengenal wajahnya,
seorang gadis dengan setangkai mawar.

Lebih dari setahun yang lalu John membaca buku yang dipinjam dari
Perpustakaan. Rasa ingin tahunya terpancing saat ia melihat coretan tangan
yang halus di buku tersebut. Pemilik terdahulu buku tersebut adalah seorang
gadis bernama Hollis Molleon. Hollis tinggal di New York dan John di
Florida. John mencoba menghubungi sang gadis dan mengajaknya untuk saling
bersurat. Beberapa hari kemudian, John dikirim ke medan perang, Perang Dunia
II. Mereka terus saling menyurati selama hampir 1 tahun. Setiap surat
seperti layaknya bibit yang jatuh di tanah yang subur dalam hati
masing-masing dan jalinan cinta merekapun tumbuh.

John berkali-kali meminta agar Hollis mengirimkannya sebuah foto. Tetapi
sang gadis selalu menolak, kata sang gadis “Kalau perasaan cintamu
tulus,John, bagaimanapun rupaku tidak akan merubah perasaan itu, kalau saya
cantik, selama hidup saya akan bertanya-tanya apakah mungkin perasaanmu itu
hanya karena saya cantik saja, kalau saya biasa-biasa atau cenderung jelek,
saya takut kamu akan terus menulis hanya karena kesepian dan tidak ada orang
lain lagi dimana kamu bisa mengadu. Jadi sebaiknya kamu tidak usah tahu
bagaimana rupa saya. Sekembalinya kamu ke New York nanti kita akan bertemu
muka. Pada saat itu kita akan bebas untuk menentukan apa yang akan kita
lakukan.”

Mereka berdua membuat janji untuk bertemu di Stasiun Pusat di New York pukul
6 sore setelah perang usai. “Kamu akan mengenali saya, John, karena saya
akan menyematkan setangkai bunga mawar merah pada kera bajuku”, kata Nona
Hollis.

Pukul 6 kurang 1 menit sang perwira muda semakin gelisah, tiba-tiba
jantungnya hampir copot, dilihatnya seorang gadis yang sangat cantik berbaju
hijau lewat di depannya, tubuhnya ramping, rambutnya pirang bergelombang,
matanya biru seperti langit, luar biasa cantiknya…. Sang perwira mulai
menyusul sang gadis, dia bahkan tidak menghiraukan kenyataan bahwa sang
gadis tidak mengenakan bunga mawar seperti yang telah disepakati. Hanya
tinggal 1 langkah lagi kemudian John melihat seorang wanita berusia 40 tahun
mengenakan sekumtum mawar merah di kerahya. “O….itu Hollis!!!!”

Rambutnya sudah mulai beruban dan agak gemuk. Gadis berbaju hijau hampir
menghilang. Perasaan sang perwira mulai terasa terbagi 2 ingin lari mengejar
sang gadis cantik tetapi pada sisi lain tidak ingin menghianati Hollis yang
lembut dan telah setia menemaninya selama perang. Tanpa berpikir panjang,
John berjalan menghampiri wanita yang berusia setengah baya itu dan
menyapanya, “Nama saya John Blanford, anda tentu saja Nona Hollis, bahagia
sekali bisa bertemu dengan anda, maukah anda makan malam bersama saya?” Sang
wanita tersenyum ramah dan berkata “Anak muda, saya tidak tahu apa artinya
semua ini, tetapi seorang gadis yang berbaju hijau yang baru saja lewat
memaksa saya untuk mengenakan bunga mawar ini dan dia mengatakan kalau anda
mengajak saya makan maka saya diminta untuk memberitahu anda bahwa dia
menunggu anda di restoran di ujung jalan ini, katanya semua ini hanya ingin
menguji anda.” (NN)

Pernahkah terpikir oleh anda sekalian, bahwa si pemuda bernama John Blanford
di atas akan menarik semua perkataan-perkataan cinta romantis yang pernah di
tulis dalam surat-suratnya apabila, katakanlah memang benar ternyata Nona
Hollis hanyalah seorang wanita gemuk dengan rambut hampir beruban. Untunglah
John seorang yang sangat cerdas dan berhikmat. Dia bisa saja berpikir pasti
dapat mengeluarkan sebuah alasan lain untuk mengagalkan lamarannya. Dan
tentunya jika itu terjadi, maka cerita ini pasti tidak akan ada.

Seseorang akan sangat mudah tertipu dan tergoda untuk mengikuti mata jasmani
dan mengabaikan kata hati. Orang lebih menyukai apa yang dapat dia lihat
dan sentuh dari pada apa yang dapat dirasakan dan di sentuh oleh hatinya.
Ini adalah salah satu titik kegagalan manusia dalam menjalani kehidupannya
sebagai orang yang beriman. Kita lebih tertarik melihat sebuah senyuman
manis, dari pada sikap hati. Kita lebih menyukai bola mata yang bulat dan
bening ketimbang mata hati yang tajam dan peka. Kita lebih menyukai wajah
rupawan dari pada karakter yang bagus. Singkat kata, kita semua lebih
menyukai hal-hal yang bersifat jasmaniah ketimbang hal-hal rohaniah. Itulah
sebabnya seringkali kita tersandung karena ulah kita
sendiri!

Penantian panjang

Penantian Panjang
Demi kekasihnya yang sekarat, seorang wanita rela menjadi seekor kupu-kupu untuk menyelamatkan jiwanya. Penantiannya yang panjang justru membalikkan kisah cinta mereka menjadi kesedihan.

Di sebuah kota kecil yang tenang dan indah, ada sepasang pria dan wanita yang saling mencintai. Mereka selalu bersama memandang matahari terbit di puncak gunung, bersama di pesisir pantai menghantar matahari senja. Setiap orang yang bertemu dengan mereka tidak bisa tidak akan menghantar dengan pandangan kagum dan doa bahagia. Mereka saling mengasihi satu sama lain.

Namun pada suatu hari, malang.. sang lelaki mengalami luka berat akibat sebuah kecelakaan. Ia berbaring di atas ranjang pasien.. beberapa malam tidak sadarkan diri di rumah sakit. Siang hari sang wanita menjaga di depan ranjang dan dengan tiada henti memanggil-manggil kekasih yang tidak sadar sedikitpun. Malamnya ia ke gereja kecil di kota tersebut dan tak lupa berdoa kepada Tuhan agar kekasihnya selamat. Air matanya sendiri hampir kering karena menangis sepanjang hari. Seminggu telah berlalu, sang lelaki tetap pingsan tertidur seperti dulu, sedangkan si wanita telah berubah menjadi pucat pasi dan lesu tidak terkira, namun ia tetap dengan susah payah bertahan dan akhirnya pada suatu hari Tuhan terharu oleh keadaan wanita yang setia dan teguh itu, lalu IA memutuskan memberikan kepada wanita itu sebuah pengecualian kepada dirinya.

Tuhan bertanya kepadanya: "Apakah kamu benar-benar bersedia menggunakan nyawamu sendiri untuk menukarnya?".

Si wanita tanpa ragu sedikitpun menjawab: "Ya".

Tuhan berkata: "Baiklah, Aku bisa segera membuat kekasihmu sembuh kembali, namun kamu harus berjanji menjelma menjadi kupu-kupu selama 3 tahun. Pertukaran seperti ini apakah kamu juga bersedia?".

Si wanita terharu setelah mendengarnya dan dengan jawaban yang pasti menjawab: "saya bersedia!".

Hari telah terang. Si wanita telah menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Ia mohon diri pada Tuhan lalu segera kembali ke rumah sakit. Hasilnya, lelaki itu benar-benar telah siuman bahkan ia sedang berbicara dengan seorang dokter. Namun sayang, ia tidak dapat mendengarnya sebab ia tak bisa masuk ke ruang itu. Dengan di sekati oleh kaca, ia hanya bisa memandang dari jauh kekasihnya sendiri. Beberapa hari kemudian, sang lelaki telah sembuh. Namun ia sama sekali tidak bahagia. Ia mencari keberadaan sang wanita pada setiap orang yang lewat, namun tidak ada yang tahu sebenarnya sang wanita telah pergi kemana.

Sang lelaki sepanjang hari tidak makan dan istirahat, terus mencari. Ia begitu rindu kepadanya, begitu inginnya bertemu dengan sang kekasih, namun sang wanita yang telah berubah menjadi kupu-kupu bukankah setiap saat selalu berputar di sampingnya? hanya saja ia tidak bisa berteriak, tidak bisa memeluk. Ia hanya bisa memandangnya secara diam-diam.

Musim panas telah berakhir, angin musim gugur yang sejuk meniup jatuh daun pepohonan. Kupu-kupu mau tidak mau harus meninggalkan tempat tersebut lalu terakhir kali ia terbang & hinggap di atas bahu sang lelaki. Ia bermaksud menggunakan sayapnya yang kecil halus membelai wajahnya, menggunakan mulutnya yang kecil lembut mencium keningnya. Namun tubuhnya yang kecil dan lemah benar-benar tidak boleh di ketahui olehnya, sebuah gelombang suara tangisan yang sedih hanya dapat di dengar oleh kupu-kupu itu sendiri & mau tidak mau dengan berat hati ia meninggalkan kekasihnya, terbang ke arah yang jauh dengan membawa harapan.

Dalam sekejap telah tiba musim semi yang kedua, sang kupu-kupu dengan tidak sabarnya segera terbang kembali mencari kekasihnya yang lama di tinggalkannya. Namun di samping bayangan yang tak asing lagi ternyata telah berdiri seorang wanita cantik. Dalam sekilas itu sang kupu-kupu nyaris jatuh dari angkasa. Ia benar-benar tidak percaya dengan pemandangan di depan matanya sendiri. Lebih tidak percaya lagi dengan omongan yang di bicarakan banyak orang.

Orang-orang selalu menceritakan ketika hari natal, betapa parah sakit sang lelaki. Melukiskan betapa baik dan manisnya dokter wanita itu. Bahkan melukiskan betapa sudah sewajarnya percintaan mereka dan tentu saja juga melukiskan bahwa sang lelaki sudah bahagia seperti dulu kala dsb. Sang kupu-kupu sangat sedih. Beberapa hari berikutnya ia seringkali melihat kekasihnya sendiri membawa wanita itu ke gunung memandang matahari terbit, menghantar matahari senja di pesisir pantai. Segala yg pernah di milikinya dahulu dalam sekejap tokoh utamanya telah berganti seorang wanita lain sedangkan ia sendiri selain kadangkala bisa hinggap di atas bahunya, namun tidak dapat berbuat apa-apa.

Musim panas tahun ini sangat panjang, sang kupu-kupu setiap hari terbang rendah dengan tersiksa dan ia sudah tidak memiliki keberanian lagi utk mendekati kekasihnya sendiri. Bisikan suara antara ia dengan wanita itu, ia dan suara tawa bahagianya sudah cukup membuat embusan napas dirinya berakhir, karenanya sebelum musim panas berakhir, sang kupu-kupu telah terbang berlalu.

Bunga bersemi dan layu. Bunga layu dan bersemi lagi. Bagi seekor kupu-kupu waktu seolah-olah hanya menandakan semua ini. Musim panas pada tahun ketiga, sang kupu-kupu sudah tidak sering lagi pergi mengunjungi kekasihnya sendiri. Sang lelaki bekas kekasihnya itu mendekap perlahan bahu si wanita, mencium lembut wajah wanitanya sendiri. Sama sekali tidak punya waktu memperhatikan seekor kupu-kupu yang hancur hatinya apalagi mengingat masa lalu. Tiga tahun perjanjian Tuhan dengan sang kupu-kupu sudah akan segera berakhir dan pada saat hari yang terakhir, kekasih si kupu-kupu melaksanakan pernikahan dengan wanita itu. Dalam gereja kecil telah di penuhi orang-orang. Sang kupu-kupu secara diam-diam masuk ke dalam dan hinggap perlahan di atas pundak Tuhan. Ia mendengarkan sang kekasih yang berada di bawah berikrar di hadapan Tuhan dgn mengatakan: "saya bersedia menikah dengannya!". Ia memandangi sang kekasih memakaikan cincin ke tangan wanita itu, kemudian memandangi mereka berciuman dengan mesranya lalu mengalirlah air mata sedih sang kupu-kupu.

Dengan pedih hati, Tuhan menarik napas: "Apakah kamu menyesal?".

Sang kupu-kupu mengeringkan air matanya: "Tidak".

Tuhan lalu berkata di sertai seberkas kegembiraan: "Besok kamu sudah dapat kembali menjadi dirimu sendiri".

Sang kupu-kupu menggeleng-gelengkan kepalanya: "Biarkanlah aku mjd kupu2 seumur hidup".

ADA BEBERAPA KEHILANGAN MERUPAKAN TAKDIR. ADA BEBERAPA PERTEMUAN ADALAH YANG TIDAK AKAN BERAKHIR SELAMANYA. MENCINTAI SESEORANG TIDAK MESTI HARUS MEMILIKI, NAMUN MEMILIKI SESEORANG MAKA HARUS BAIK-BAIK MENCINTAINYA.

tentang allisa

Aditya dan Ardian… dua nama itulah yang selama 3 bulan terakhir mengisi hari-hariku.

Ardian…
Dia datang pada saat dimana aku sedang merasa sangat kehilangan, hari-hariku sedang membosankan dan menyedihkan. Aku baru saja putus cinta. Awal aku mengenalnya karena tidak sengaja mengirim sms. Setelah itu kami sering bertukar cerita, bertelpon ria.
Entahlah, aku tidak tahu kapan cinta itu hadir dalam hatiku dan aku juga tak mengerti mengapa cinta itu datang begitu cepat. Dan yang lebih aku tak mengerti mengapa aku harus mencintainya, padahal kita tak pernah bertemu.

Aneh bukan? Tapi itulah cinta, bila cinta tidak gila itu tidak dikatakan cinta…
Cinta itu harus gila.

Entahlah, apakah dia merasa hal yang sama dengan apa yang kurasa? Aku tak tahu. Hubunganku dengan ardian tak pasti, bertemankah atau berpacarankah…
Berteman…mungkin dia akan jadi seorang teman yang baik, yang selalu mau mendengar keluh kesahku setiap hari
Berpacaran…mungkin dia akan jadi seorang pacar yang setia,
Berteman atau berpacaran aku tak peduli. Aku merasa nyaman… mendengar suaranya dan mendengar tawanya, dia selalu menjalani kehidupannya dengan santai, seolah dia tidak pernah merencanakan hidupnya esok akan bagaimana, dia biarkan hidupnya mengalir. Tapi itulah yang ku suka, tapi hal itu pula yang pada akhirnya membuat aku benci.

Ardian datang lebih awal daripada adit, mungkin jika adit datang lebih awal, aku akan jatuh cinta padanya.

Aditya…
Aku mengenalnya karena perjodohan orang tua. Saat itu aku sedang menikmati kedekatanku dengan ardian.
Entahlah, aku tidak tahu kapan cinta itu datang di hati adit, aku tak mengerti mengapa adit sangat ingin menikah denganku, padahal perkenalan ini amat singkat. Entahlah, apakah aku merasa hal yang sama dengan adit? Aku tak tahu. Tapi yang pasti aku kagum akan kegigihan dan perhatian dia.

Hubunganku dengan adit juga tak pasti, yang pasti aku pernah menyakitinya karena aku menolaknya

Tapi hingga saat ini seolah dia tak menyerah untuk mengejarku..
Atau mungkin karena target hidup dia yang sudah tersusun rapi dari tahun ketahun. Dia manargetkan menikah pada tahun ini, pada usia dia yang ke 27. itulah adit, dia selalu menyusun rencana hidupnya jauh kedepan. Bahkan 10 tahun, 20 tahun kedepan sudah disusunnya secara terperinci. Tapi itulah yang membuat aku menolaknya, aku belum lama mengenalnya, aku pernah bertanya padanya, apakah saat dia menulis target hidupnya untuk menikah tahun ini, dia membayangkan wanita yang akan di nikahi itu siapa? Aku yakin, wanita yang dia bayangkan bukan aku, tapi orang lain, entah aku tak pernah mau tahu siapa wanita itu. Aku tak pernah ada dalam rencana hidup dia, karena perkenalan kita masih sangat singkat, tapi mengapa harus aku yang harus terjebak dalam target hidupnya?

Sungguh adit dan ardian adalah dua pribadi yang bertolak belakang, walaupun inisial nama mereka sama

Aku adalah seorang wanita, yang selama 3 bulan ini dilema dengan perasaanku sendiri. Secara jelas aku menjelaskan perasaanku terhadap 2 laki-laki itu pada perkenalan mereka. Aku seorang yang sangat simple dalam hal mencintai seseorang, aku selalu jatuh cinta karena hal-hal yang sederhana, tapi seringkali jatuh cinta tanpa sebuah alasan. Kadang perasaan itu datang tanpa aku tahu dan mengapa harus pada orang tersebut.

Aku sudah bosan menjalani kegagalan perjalanan cintaku, beberapa bulan sebelum aku mengenal ardian dan adit, aku memutuskan untuk menyerahkan kepada orangtuaku utuk memilih seseorang untukku, oleh karena itu mereka mengenalkanku pada adit, anak seorang teman bapak. Karena sudah terlanjur berjanji akan mencoba untuk menerima siapapun yang mereka pilih aku menyetujui untuk bertemu dan mencoba untuk mengenalnya.

Selama beberapa bulan aku mengenal mereka, aku semakin yakin akan perasaanku. Tapi saat aku menolak lamaran adit, keadaan sudah terbalik, ardian tidak lagi menginginkan aku menjadi bagian hidupnya. Aku tak tahu apakah alasan yang dia berikan adalah benar atau tidak, aku tak tahu. Saat aku menolak adit, banyak yang terluka, mama, bapak, adit, mbak tanti bahkan mungkin yang paling terluka adalah aku. Aku hanya memikirkan dan mengikuti perasaanku tanpa mau peduli perasaan orang lain, tapi apa yang aku dapat??? sekuat apapun aku meyakini perasaanku terhadapnya, toh sekarang dia mengabaikannya. Mungkin ini karma untukku…

Aku ingin sekali melupakan 2 nama itu dalam hidupku. Karena mereka membuat aku pusing. Aku merasakan apa yang adit rasa, aku merasakan bagaimana rasanya diabaikan, mengharapkan sesuatu yang tak pasti, tapi aku juga tak ingin mengabaikan perasaanku, karena hubunganku dengan ardian tak seperti yang aku harapkan. Dengan jelas dia mengatakan tidak mencintaiku, dia mungkin hanya mengganggap aku sekedar teman, seorang teman yang kesepian. Kisah ini bagaikan kisah cinta segitiga yang tak berujung. Jika aku tetap mementingkan perasaanku, ada seseorang yang terluka. Dan jika aku menerima cinta adit, aku sendiri yang akan terluka. Sampai akhirnya aku harus memutus untuk melupakan keduanya, agar tak ada yang merasa menang, agar semua merasakan perih yang sama. Tapi mungkin perih itu hanya untukku dan adit, karena kami sama-sama melibatkan perasaan yang dalam…

Entah apa yang aku harus ku ucapkan dipenghujung kisah ini, maaf atau terimakasih, yang pasti aku mendapatkan satu pelajaran yang sangat berharga dari kisah ini, aku akan mengucapakan 2 kata itu sebagai kata terakhirku. Maaf untuk semua yang secara sengaja atau tidak sengaja terluka karena masalah ini, untuk mama n bapak, maaf jika masalah ini membuat suasana kita sedikit berkurang keharmonisannya, maaf untuk adit yang sangat jelas terluka, maaf untuk ardian karena aku memaksakan sesuatu yang sudah pasti ku tahu itu tak mungkin.

Terimakasih untuk semua yang telah ikut mengukir sebuah kisah ini untukku.

Saat ini aku sedang mencoba untuk mengistirahatkan hati dan pikiranku, aku harus berusaha agar aku tak berkubang lagi pada kisah yang sama dan orang yang sama… walau sulit, aku harus bisa merelakan dan melupakan semua…
Aku ingin menuliskan sebuah puisi sebagai akhir dari kisah ini…

kisah cinta sejati

Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Ami sedang menjalankan semester terakhir dan berusaha menyelesaikan skripsi. Disaat itu pula, 2 minggu yang akan datang, Ami akan dipersunting oleh seorang pria yang bernama Iman (bukan nama sebenarnya).

Ami dan Iman telah berpacaran selama 7 tahun. Iman merupakan teman SD Ami. Mereka telah kenal selama 14 tahun. Masa 7 tahun adalah masa pertemanan, dan kemudian dilanjutkan ke masa pacaran. Mereka bahkan telah bertunangan dan 2 minggu ke depan, Ami dan Iman akan melangsungkan ijab kabul.

Entah mimpi apa semalam, tiba-tiba Ami dikejutkan oleh suatu berita.

Adiknya Iman: Mbak Ami, Mbak Ami. Mas Iman…Mas Iman….kena musibah!
Ami: Innalillahi wa inna illahi roji’un…

Saat itu Ami tidak mengetahui musibah apa yang menimpa Iman. Kemudian sang adik melanjutkan beritanya…

Adiknya Iman: Mas Iman…kecelakaan…dan..meninggal…
Ami: Innalillahi wa inna illahi roji’un…

…dan Ami kemudian pingsan…

Setelah bangun, Ami dihadapkan oleh mayat tunangannya. Ami yang shock berat tak bisa berkata apa-apa. Bahkan tidak ada air mata yang mengalir.

Ketika memandikan jenazahnya, Amit terdiam. Ami memeluk tubuh Iman yang sudah dingin dengan begitu erat dan tak mau melepaskannya hingga akhirnya orang tua Iman mencoba meminta Ami agar tabah menghadapi semua ini.

Setelah dikuburkan, Ami tetap terdiam. Ia berdoa khusyuk di depan kuburan Iman.

Sampai seminggu ke depan, Ami tak punya nafsu makan. Ia hanya makan sedikit. Ia pun tak banyak bicara. Menangis pun tidak. Skripsinya terlantar begitu saja. Orangtua Ami pun semakin cemas melihat sikap anaknya tersebut.

Akhirnya bapaknya Ami memarahi Ami. Sang bapak sengaja menekan anak tersebut supaya ia mengeluarkan air mata. Tentu berat bagi Ami kehilangan orang yang dicintainya, tapi tidak mengeluarkan air mata sama sekali. Rasanya beban Ami belum dikeluarkan.

Setelah dimarahi oleh bapaknya, barulah Ami menangis. Tumpahlah semua kesedihan hatinya. Setidaknya, satu beban telah berkurang.

…tiga bulan kemudian…

Skripsi Ami belum juga kelar. Orangtuanya pun tidak mengharap banyak karena sangat mengerti keadaan Ami. Sepeninggal Iman, Ami masih terus meratapi dan merasa Iman hanya pergi jauh. Nanti juga kembali, pikirnya.

Di dalam wajah sendunya, tiba-tiba ada seorang pria yang tertarik melihat Ami. Satria namanya (bukan nama sebenarnya). Ia tertarik dengan paras Ami yang manis dan pendiam. Satria pun mencoba mencaritahu tentang Ami dan ia mendengar kisah Ami lengkap dari teman-temannya.

Setelah mendapatkan berbagai informasi tentang Ami, ia coba mendekati Ami. Ami yang hatinya sudah beku, tidak peduli akan kehadiran Satria. Beberapa kali ajakan Satria tidak direspon olehnya.

Satria pun pantang menyerah, sampai akhirnya Ami sedikit luluh. Ami pun mengajak Satria ke kuburan Iman. Disana Ami meminta Satria minta ijin kepada Iman untuk berhubungan dengan Ami. Satria yang begitu menyayangi Ami menuruti keinginan perempuan itu. Ia pun berdoa serta minta ijin kepada kuburan Iman.

Masa pacaran Ami dan Satria begitu unik. Setiap ingin pergi berdua, mereka selalu mampir ke kuburan Iman untuk minta ijin dan memberitahu bahwa hari ini mereka akan pergi kemana. Hal itu terus terjadi berulang-ulang. Tampaknya sampai kapanpun posisi Iman di hati Ami tidak ada yang menggeser. Tetapi Satria pun sangat mengerti hal itu dan tetap rela bersanding disisi Ami, walaupun sebagai orang kedua dihati Ami.

Setahun sudah masa pacaran mereka. Skripsi Ami sudah selesai enam bulan yang lalu dan ia lulus dengan nilai baik. Satria pun memutuskan untuk melamar Ami.

Sebelum melamar Ami, Satria mengunjungi kuburan Iman sendirian. Ini sudah menjadi ritual bagi dirinya. Disana ia mengobrol dengan batu nisan tersebut, membacakan yasin, sekaligus minta ijin untuk melamar Ami. Setelah itu Satria pulang, dan malamnya ia melamar Ami.

Ami tentu saja senang. Tapi tetap saja, di hati Ami masih terkenang sosok Iman. Ami menceritakan bagaimana perasaannya ke Satria dan bagaimana posisi Iman dihatinya. Satria menerima semua itu dengan lapang dada. Baginya, Ami adalah prioritas utamanya. Apapun keinginan Ami, ia akan menuruti semua itu, asalkan Ami bahagia.

Ami pun akhirnya menerima lamaran Satria.

…beberapa bulan setelah menikah…

Di rumah yang damai, terpampang foto perkawinan Ami dan Satria. Tak jauh dari foto tersebut, ada foto perkawinan Ami ukuran 4R. Foto perkawinan biasa, namun ada yang janggal. Di foto tersebut terpampang wajah Ami dan Iman.

Ya, Ami yang masih terus mencintai Iman mengganti foto pasangan disebelahnya dengan wajah Iman. Foto itupun terletak tak jauh dari foto perkawinan Satria dan Ami. Sekilas terlihat foto tersebut hasil rekayasa yang dibuat oleh Ami. Namun Satria mengijinkan Ami meletakkan foto tersebut tak jauh dari foto perkawinan mereka.

Bagaimanapun Ami tetap akan mencintai Iman sekaligus mencintai Satria, suami tercintanya. Dan Satria merupakan pria yang memiliki hati sejati. Baginya, cinta sejatinya adalah Ami. Apapun yang Ami lakukan, ia berusaha menerima semua keadaan itu. Baginya tak ada yang perlu dicemburui dari batu nisan. Ia tetap menjalankan rumah tangganya dengan sakinah, mawaddah dan warramah, hingga saat ini…

Mendengar cerita diatas, terus terang saya merasa sedih, terharu, sekaligus miris. Saya kagum dengan sosok Satria yang ternyata benar-benar mencintai Tante Ami. Saya juga mengerti kepedihan Tante Ami ketika ditinggalkan tunangannya. Tentu rasanya sulit ditinggalkan oleh orang yang sudah membekas dihati.

Akankah ada pria-pria seperti Satria? Saya harap semoga banyak pria yang akan tetap setia kepada seorang wanita, menerima mereka apa adanya.

ketika nyawa taruhannya

tatapan mata masih liar melirik ke segala arah pandangan. saya memiliki seorang teman yang memiliki wajah cukup menarik, namanya lucky. Begitu banyak cewek yang tak tahan dengan rayuannya, tak ada gadis yang tak mampu diraihnya. Tapi saat itu lucky mendapatkan tantangan dari seorang temanku lagi yang bernama tio. Tantangannya adalah mendapatkan seorang gadis jurusan keungan yang katanya sangat cantik dan sulit untuk dirayu. Lucky lalu menerima tawaran itu.

Setiap hari lucky selalu mendekati cewek yang memang berwajah cantik itu, tapi sang gadis selalu cuek kepada lucky, namun ketidak pedulian itu menambah semangat lucky, katanya "nah ini baru tantangan!!". Suatu ketika, lucky memberanikan diri mendekati sang cewek yang sedang bercanda dengan teman-temannya, selangkah demi selangkah lucky berjalan, tapi tiba-tiba saya dan teman-teman sangat terkejut ketika sang cewek menyiram wajah lucky dengan segelas air yang membasahi sekujur tubuh lucky. Wajah lucky memerah, ia menatap gadis itu dengan penuh rasa dendam dan kemudian berjalan perlahan meninggalkan sang cewek pujaannya. "Ingat rie!!bakal aku balas dengan yang lebih menyakitkan!!!, "kata lucky ketika berjalan disampingku.

Hari berganti hari, sudah hampir sebulan saya tak melihat lucky, tak ada yang tahu keberadaan lucky, ternyata sepi juga tanpa canda tawa dari seorang temanku itu "kataku dalam hati".

Saat itu Angin bertiup pelan menghembus helai rambutku yang sedang asik berbincang dengan teman-temanku, tapi kemudian sebuah gelas putih yang kuletakkan diatas meja terjatuh dan terhempas ke hamparan tanah, seorang temanku berteriak "oi lihat itu lucky!!!", aku lalu menatap ke ujung pandangan, ternyata benar itu lucky, tapi ia sedang berjalan dengan siapa? kutatap saat itu ia sedang menggandeng seorang gadis. Kutatap perlahan ia berjalan ke arah ku. "Hallo semua!!!", teriak lucky. Aku terkejut sangat terkejut, "bukannya itu cewek keuangan yang menyiram lucky?", tanyaku dalam hati. "Nih kenalin Ria", kata lucky sambil tersenyum. Si cewek lalu berkenalan dengan ku dan teman-temanku. Setelah agak lama berbincang, lucky lalu berkata, "eh gw ke kantin dulu ya", katanya yang kemudian tersenyum kepadaku, sebuah senyuman yang agak aneh, antara bahagia dan kemunafikan, ah tapi aku tak terlalu dengan hal itu, yang penting temanku sudah bahagia, pikirku.

Semenjak lucky dekat atau mungkin pacaran dengan cewek itu, lucky sangat berubah, dia jarang ngumpul lagi denganku dan teman-teman, dan terdengar pula kabar lucky sering clubbing dengan pacar barunya.

Saat itu sore menjelang hampir dua bulan hubungan pertemanan ku dengan lucky tak ada komunikasi, padahal lucky adalah sahabatku tapi mungkin ia lebih memilih pacarnya daripada sahabatnya yang cupu ini. lembayung bersinar dengan indahnya, matahari perlahan meredup burung-burung berterbangan pertanda akan datangnya malam. Hp ku berdering begitu kerasnya, memecahkan lamunanku, ketika kujawab "hallo", "hallo ini arie ya?", "ya ini arie, ini siapa ya?", "ini ria...kamu tahukan?", "ya aku tahu ria, tapi ada apa ya?", kamu pernah ngelihat lucky ga? soalnya ga ada kabar dari dia!?", "loh bukannya dia sering jalan ama kamu?, aku aja ga tahu dia ada dimana sekarang", "ou...gitu ya...ya udah deh makasih ya"...tut..tut..tut

Aku bingung, sangat bingung...ada apa dengan si lucky sebenarnya, aku lalu memberanikan diri mendatangi tempat dimana si lucky biasa nongkrong baru-baru ini. Saat itu jam di tanganku menunjukan angka 11 pertanda hari telah larut, tapi suasana masih sangat ramai saat itu ketika aku sampai di tempat yang disebut orang-orang "club" atau apalah. mataku mencari-cari sosok sahabatku itu, tak sekilaspun mataku berkedip...kutatap ke seluruh pandangan, tapi kemudian pandangan ku terhenti, aku melihat seorang lelaki yang sedang asyik bermesraan dengan seorang cewek sambil memegang segelas minuman, laki-laki itu mirip dengan sahabatku itu "lucky". Aku lalu berjalan ke arah laki-laki itu, ternyata benar dia lucky. "Eh lo rie!!!!, hahaha...ternyata lo kesini juga!!, nih minum, kata lucky menyambutku. "Ga ky, gw cuma mau tahu aja keadaan lo gimana, anak-anak nyariin lo", jawabku. "Gw ya gini-gini aja rie, yuk happy rie!!!", teriak lucky yang terlihat mabuk. "Ky...tadi ria nelp gw nanyain lo, ada apa ky?", tanyaku. Tapi lucky menjawabnya dengan wajah yang sedikit marah..."Ah mampus aja tu anak!!!". Aku terdiam, beribu tanya di hatiku, "ada apa sebenarnya ini?"

Esok hari ketika matahari telah bersandar di tahtanya, aku membuka mataku dan bergegas ke kamar mandi. Namun ketika aku baru saja hendak melemaskan seruluh tubuhku yang baru tersadar, hp ku berdering. Saat kutatap hp ku itu, kulihat nomor yang sama dengan ria, aku lalu bergegas menjawabnya. "Hallo", "Hallo rie, apa udah ada kabar dari lucky?", "hmm...aku ga tahu lucky ada dimana ria, ntar dah kalo udah ada kabar dari lucky aku kasih tahu", "Rie...besok aku boleh ngobrob ama kamu ga?", "ngobrol aja sekarang...kan sama aja", "ga deh besok aja aku tunggu di kantin", "ok deh...". Aku lalu mengambil segelas yang berisikan air putih lalu kuteguk minuman itu, gundah yang kurakan perlahan menghilang...aku sangat bingung ketika itu..."apa yang harus aku lakukan?". Hari terasa berlalu sangat cepat...malam telah datang, bintang-bintang bertaburan memancarkan cahayanya yang begitu indah. Aku lalu mengambil kunci motorku dan bergegas ke club tempat lucky kemarin.

Saat aku sampai di tempat itu, terlihat senyum nakal seorang gadis menggodaku, tapi aku tak peduli...aku mempercepat langkahku mencari lucky. Tapi ketika aku telah bertemu dengan lucky, jawaban lucky selalu sama, "mampus aja tu anak". Aku sangat kecewa, sedikitpun usahaku ini tak ada artinya. Aku lalu pulang dengan rasa gundah di benakku.

***
Rintik-rintik hujan terjun ke bumi bagaikan terbang tanpa sayapnya. Dingin sangat dingin, membasahi daun yang telah mengering, ketika itu pagi, aku sedang memetik gitar tua yang tak pernah lagi kebelai. Aku teringat janjiku ke ria. Aku lalu bergegas ke kampus, walaupun hujan masih berterbangan di helai-helai udara.

Aku kemudian sampai di kantin dengan baju yang sedikit basahtapi aku tetap tersenyum "hai ria, udah lama nunggu? sorry hujan tadi", kata ku kepada ria yang telah terduduk sendiri. "Ah ga papa rie, tapi kamu kehujanan gini...harusnya aku yahng minta maaf udah ngerepotin", jawab ria. "Katanya mau cerita?, cerita apa nie?", kataku sambil bercanda. "Rie sebenarnya aku kangen dengan lucky, dia ga pernah ngabarin aku lagi". "Wah kangen? knapa ga nelp si lucky aja?", "Udah tapi hp nya ga pernah aktif", "emang udah brapa lama sih?", "Semenjak....", kata ria yang kemudian terdiam. Rasa penasaran terus menghantuiku, "semenjak lucky punya pacar baru?", kataku sambil tertawa. Aku terkejut sangat terkejut ketika air mata menetes dari pipi cantik ria. "Ria kamu kenapa? kamu kok nangis, ada yang salah dengan ucapan ku tadi ya?", kataku gundah. "Lucky berubah semenjak tahu kalau aku hamil!!!", kata ria sambil tersedu-sedu. "Ha hamil!!!", kataku bingung. "Ya aku hamil rie...aku bingung", "apa orang tua kamu udah tahu?", "hmm...ya...mereka udah tahu". Aku terdiam, tak ada kata yang mampu kuucapkan...beribu bimbang kurasakan saat itu, seorang sahabatku...

Ketika malam datang aku bergegas ke tempat lucky, kutemui dia...saat aku meliat lucky, kutarik tubuhnya yang telah mabuk itu..."eh ky...lo kenapa sih...si rie berulang kali nanyain lo!!!", kata ku sambil berteriak. "Ah mampus aja tu anak!!!", jawabnya sambil membentak ku. "Brengsek lo!!!", kata ku sambil menamparnya. "Lo tahu kan dia hamil!!!!, tega amat lo!!!". Lucky terdiam sejenak kemudian tertawa dengan kerasnya...."ha...haa...haa...gw kan udah pernah bilang ama lo!!! tunggu aja balasan gw ke tu anak!!!", kata lucky sambil tertawa. "Tapi ga gini caranya luck!!!
, lo ngerusak anak orang", bentak ku. "Justru ini tujuan gw pacaran ama dia!!!...hahaha...", jawab lucky lagi. "Lo emang kelewatan...lo ingat luck, ntar lo nyesel". "Gw ga kan nyesel rie...gw malah bahagia...kok malah lo yang sewot sih...lo aja yang pacaran ama dia sana!!!", kata lucky yang menatangku. "Brengsek lo!!". Aku lalu menariknya ketika tangan ku hendak memukulnya, seorang lelaki berbadan tegap memelukku dan mengusirku dari club itu, perasaanku bercampur ketika itu, marah, sedih dan kecewa. Aku terjatuh ketika pria bertubuh besar itu mendorongku ke tanah yang terhiasi bunga cantik yang berwarna putih, kulihat tubuhku berada diatas kuntum bunga itu, kutatap bunga itu terlah rusak dan mati karena ku.


Esok hari ketika gundahku masih memaksa ku untuk berteriak, aku menenangkan diriku dengan temaku, sebuah gitar yang terbaring kaku disebelahku. Kupetik gitar itu dan kemainkan nada-nada indah yang sedikit menghiburku. Tapi tiba-tiba hp ku berdering, kuliat ternyata hanya pesan singkat. Aku pun tak peduli dengan itu...aku terus memetik gitar tua ku itu. Ketika aku perlahan bernyanyi, rasa penasaran timbul dari benakku, aku lalu membuka isi pesan itu, ternyata dari ria, aku lalu membacanya...

rie...tadi lucky nelpon aku, aku bahagia rie...akhirnya dia ngehubungi aku lagi...walaupun dia tetap dengan keegoisannya yang tak mau bertanggung jawab dengan bayi yang kukandung ini...dia dengan lancarnya bilang 'Gugurin aja tu anak, aku ga mau punya anak!!!"...aku bingung rie, daripada aku harus menggugurkan anak ini yang merupakan anugrah dari tuhan...lebih baik aku pergi darinya...

Aku terdiam merenungkan isi sms itu...tiba-tiba hp ku berdering lagi, sebuah sms lagi dari ria, aku lalu bergegas membaca isi sms itu...

aku ga tahan dengan cobaan ini rie...orang tua ku!!!aku udah membuat semuanya malu...mungkin ini adalah sms terakrih dari aku rie...makasih udah mau mengerti dan mendengar curhatan aku...aku titip lucky rie


Aku terkejut membaca sms itu...Apa maksud dari sms ini?!!!, apa ria senekat itu?!!!...aku lalu menghubungi ria, tapi hp nya ga aktif. Langkahku bergegas ke kampus...kucari teman-temanku...ternyata benar, teman-temanku sedang sibuk bercerita tentang ria, ketika itu 2 jam berselang setelah ria mengirim sms kepadaku, "Rie lo tahu ga? rie minum racun...sekarang dia di ugd...", kata tio. "Ha...bener tu!!!", "ya rie...", "yuk kita kesana"...kami lalu menuju rumah sakit tempat ria dirawat.

Air mataku tak mampu kebendung, menetes dari pipiku ketika melihat ria terbaring lemas diatas kasur yang beralaskan sprei warna putih itu. Tapi aku terkejut ketika seorang laki-laki tua menghampiri dan langsung menamparku, "Kamu yang namanya lucky ya!!!, brengsek kamu!!!", "Om tenang dulu...saya buan lucky, saya arie...", kataku sambil menahan rasa sakit di pipi ku. Ou rupanya laki-laki tua itu adalah ayah dari ria...ia lalu terdiam dan terduduk di lantai sambil menetesan air mata. "Maap...saya kira kamu lucky...laki-laki bangsat yang udah membuat anak saya seperti ini!!!", "ga papa om...", jawab ku. Ketika suasana terhening, terdengar pelan suara ria "Lucky...lucky...", aku semakin tak tahan dengan kepedihan itu...aku lalu meninggalkan teman-temanku dan ria, maksudku ingin mencari lucky. Aku menuju ke rumah lucky, tapi aku tak menemuinya...aku terus mencarinya ketika itu dengan penuh gundah tapi aku tetap tak menemuinya. Ketika malam datang, aku tahu dimana satu-satunya tempat aku bisa menemi si lucky...aku lalu mendatangi club itu lagi, ternyata benar...lucky telah ada disana...aku lalu menghampirinya..."Ky...lo harus ketemu nia!!!", "lo lagi rie...mak bapaknya aja ga ada nyariin gw, kok lo semangat amat sih!!!", sindir lucky. "Ky lo sebenarnya sayang ga sih ama si ria?", "Mana ada gw sayang ama tu anak!!! gw cuma dendam", "Ou jadi lo selama ini ga sedikitpun sayang ama dia?, gimana kalau dia udah ninggalin lo ky", kataku. "Terserah kalau dia mau mutusin aku, justru gw senang putus ama dia". "Gimana kalau dia ninggalin lo selamanya", kataku sambil menatap mata lucky. "Selamanya?!!", tanya lucky bingung. "Lo tahu...tadi pagi ria nekat minum racun karena lo!!!, kalau lo masih sayang ama dia, ayo ikut gw ke rumah sakit...tapi kalau lo ga mau juga ga papa", kata ku. Lucky lalu terdiam, aku lalu melangkahkan kaki ku perlahan. tapi tiba-tiba lucky berlari mengejarku "serius lo ria sekarang di rumah sakit?", "ya sekarang dia lagi kirtis!!!". Terliat air mata menetes dari pipi lucky, ternyata lucky masih menyayangi ria, tapi tertutupi karena dendamnya yang membuatnya khilaf. Kami lalu bergegas ke rumah sakit...di perlanan lucky bercerita kepadaku..."sebenarnya gw sayang ama ria, tapi...gw kesel ama kelakuan dia dulu itu...tapi gw ga balakan nyakitin dia lagi...gw mau kok tanggung jawab...", kata lucky dengan wajah yang bimbang.

Ketika kami tiba di rumah sakit lucky berkata lagi "Rie ntar lo yang jadi saksi kalau gw nikah dengan ria ya', kata lucky sambil bercanda, tapi tiba-tiba aku sangat terkejut ketika mendengar suara tangis yang begitu keras, lucky lalu berlari ke arah tempat tidur ria...lucky melihat ria sudah terbujur kaku...hanya sebuah senyum yang hampa menghiasi wajah ria...tangisan lucky tak mampu dibendungnya..."ria!!!maafin gw!!!gw mau jadi bapak dari anak kita!!!", kata lucky sambil berteriak...air matanya terus menetes tak henti membasahi bumi...lucky kemudian menggengam tangan ria...dikecupnya tangan yang sudah kaku itu...lucky terdiam sesaat ketika melihat tangan ria masih memegang kalung yang berhiaskan angka "L"...lucky lalu berjalan ke arahku..."gw nyesel rie...gw udah nyia-nyiain dia...kalung ini masih dia genggam sampai dia ningalin aku selama-lamanya...kalung ini pemberian aku rie, saat itu aku bilang ke ria , jaga kalung ini...kalung ini tanda cinta aku ke ria selamanya...", kata lucky sambil menangis. Aku hanya terdiam mendengar kata-kata lucky, tak ada yang mampu ku ucapkan...hanya air mata yang menetes dari pipiku...

Kacamata Rere

Sudah setengah jam lebih Rere mematut diri di cermin dengan mengubah-ubah gaya rambutnya. Tapi, bagaimanapun rambut panjangnya diubah gaya, tetap saja tidak dapat menutupi ketebalan kacamata minus barunya itu. Ini membuat Rere kecewa.
“Ya, Tuhan… mengapa Kau berikan cobaan yang begitu berat ini padaku?” batin Rere. Hatinya benar-benar sedih karena minus matanya naik lagi, yang kiri satu dan yang kanan juga satu. Kini genaplah kedua matanya minus sepuluh. Uh! Makin tebal aja tuh kacamata.
Rere menyudahi juga mematut diri di cermin. Ia hanya bisa pasrah menerima kenyataan ini. Meski hal-hal yang tak mengenakan terbayang dalam benaknya. Dengan kacamata minus barunya yang semakin tebal itu tentu Rere akan jadi bahan olok-olokan Bela `n gengnya. Bela `n gengnya itu emang benci banget dengan yang namanya Rere. Kebencian mereka kepada Rere lantaran sikap Rere yang mereka anggap sok idealis. Mentang-mentang murid paling pinter enggak pernah mau ngasih contekan. Tapi, yang lebih membuat Rere khawatir ialah tak ada cowok yang terpikat denganya lantaran kacamata tebalnya.
Airmata Rere meleleh. Kacamatanya itu serasa beban buatnya. Karena kacamatanya itulah sampai kini ia tak pernah memiliki pacar. Belum lagi di sekolah ia dijuluki si kacamata pantat botollah, si kutu bukulah. Tapi jika dijuluki si kutu buku itu memang tepat. Sejak kecil Rere memang hobi banget dengan yang namanya baca buku. Dari mulai komik, novel, sampai buku politik. Tak heran jika wawasan Rere melebihi rata-rata anak seusianya.

Re, kacamata lo ganti lagi ya?” tanya Dea saat berjalan menuju kantin sekolah. Rere mengangguk pelan.
“Pantesan keliatan makin tebal.”
Ah, yang dikhawatirkan Rere terbukti juga. Hanya dengan melihat sekilas saja ketebalan kacamatanya itu pasti kentara.
“Naik berapa, Re?”
“Dua.”
“Maksudnya yang kanan naik satu yang kiri naik satu, begitu?”
Rere kembali mengangguk lesu. Ia semakin tak bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabatnya itu.
“Gue heran, minus elo itu kok cepet banget sih naiknya. Coba deh elo rutin mengonsumsi wortel, mungkin minus mata elo bisa berkurang bahkan sembuh.”
Apa yang dikatakan Dea mungkin juga betul. Konon menurut orang-orang wortel dapat menurunkan minus. Tapi, Rere memang paling enggak seneng sama yang namanya wortel. Pernah suatu kali Rere muntah karena meminum jus wortel. Padahal, jus itu telah diberikan campuran madu dan buah-buahan lainnya.
Pada saat Rere dan Dea hendak masuk kantin Bela `n gengnya hendak masuk kantin juga.
“Eh, si kacamata pantat botol, apa kabar…?” Bela bertingkah genit dengan tangan digerak-gerakkan layaknya banci.
“Eh, si kutu buku aku kira siapa,” tegur salah seorang dari gengnya Bela itu.
Dea menarik lengan Rere ke dalam kantin. Dea tak ingin sahabatnya ini bertengkar dengan Bela `n geng. Tapi tiba-tiba saja Bela mencekal lengan Rere.
“Hai, kacamata lo ganti ya? Wah makin keren aja lo!” ucap Bela dengan mata berbinar. Rere tahu Bela memperoloknya. Rere berusaha sekuat mungkin menahan emosinya. Rere tak ingin berkelahi dengan Bela yang tomboi ini. Ya, enam bulan lalu Rere pernah berkelahi dengan Bela. Karena perkelahian itu Rere mengalami luka memar di beberapa bagian tubuh dan kacamatanya pecah. Apalagi sekarang Bela ditemani gengnya, sama saja dengan bunuh diri

“Riki si anak baru itu pasti deh langsung naksir elo,” celoteh yang lain. Kontan Bela `n gengnya itu tertawa terpingkal-pingkal. Hati Rere benar-benar sakit karena ejekan itu. Mana mungkin Riki anak baru di sekolah ini yang keren abis itu menyukainya. Di depan Bela `n geng Rere layaknya anak idiot.
Rere berlari keluar seraya menahan tangisnya. Rasa lapar diperutnya jadi hilang. Di belakang suara Dea terdengar memanggil-manggilnya di antara suara tawa tergelak milik Bela `n geng. Rere tak perduli. Rere masuk ke kelasnya. Di dalam kelasnya itulah Rere memuntahkan sakit hatinya dengan menangis.
Begitu bel pulang berbunyi, Rere segera memberesi buku-bukunya dan bergegas keluar. Rere tak ingin bertemu dengan Bela `n geng yang pastinya akan memperoloknya lagi. Di belakangnya Dea mengejar.
“Re, tunggu gue!”
Rere berhenti sejenak dan membalikkan tubuh. “Ayo, buruan….”
Dea berlari kecil menghampiri. “Re, elo mesti sabar, ya.”
Rere mengangguk. Memang hanya bersabarlah yang dapat Rere lakukan. Kedua sahabat ini berbincang-bincang dengan meneruskan perjalanan.
“Gue juga sedih dan marah ngeliat elo dipermainkan mereka. Bela `n gengnya itu emang keterlaluan. Tapi, baiknya elo cuekin aja omongan mereka, nanti juga mereka capek sendiri. Ejekan mereka itu `kan bukan yang pertama untuk elo. Seharusnya elo jadi kebal.”
“Gue malu banget saat mereka ngejek gue bakal ditaksir ama si Riki. Elo tau `kan si Riki itu cowok paling keren di sekolah kita. Masa dia mau naksir gue, itu sama aja dengan ngehina gue,” Rere berkata dengan berapi-api.
“Tapi, Re, mengenai Riki itu bisa aja terjadi.”
“Apa maksud elo?” Rere menghentikan langkahnya. Dea pun melakukan hal yang sama.
“Riki emang udah berapa kali nitip salam untuk elo ke gue. Hanya gue takut elo nganggap gue bohong kalo gue nyampein salamnya dia ke elo.”

“Kanapa elo juga ngejek gue seperti itu?” Mata Rere mulai berkaca-kaca. Ia tak mengira sahabatnya ikut-ikutan memperoloknya. Dengan hati hancur Rere berjalan tergesah meninggalkan Dea. Dea hanya berdiri mematung di tempatnya. Dea benar-benar tak mengira Rere akan salah tanggap seperti itu.
Bukan hanya Bela `n geng yang dihindari Rere, tapi juga Dea. Setiap kali Rere mengangkat telepon rumahnya dan tahu itu dari Dea, pasti Rere langsung menutupnya. Rere tak mau dengar penjelasan apa pun dari Dea. Walau sebenarnya Rere pun tidak mengerti mengapa Dea berkata seperti itu.
Seperti di siang itu sepulang dari sekolah Rere tidak langsung pulang, ia malah pergi ke pameran berbagai prodak yang setiap tahunnya diadakan pemerintah daerah dan digelar selama sepuluh hari. Ketika Rere tengah berjalan-jalan di pameran itu, Rere melihat beberapa meter di depannya Dea tengah asyik memilih-milih tas akar hasil kerajinan tangan masyarakat Baduy. Segera Rere memutar langkah. Namun, Dea keburu melihatnya dan langsung memanggilnya. Rere tak peduli. Dengan berjalan cepat dan sesekali berlari kecil Rere menghindar.
Rere berjalan menuju pintu gerbang. Di belakangnya Dea masih mengejar. Di perempatan, Rere sengaja tak menempuh jalur yang menuju jalan raya, tapi menuju jalan menuju perumahan. Pada sebuah pintu gerbang perumahan Rere masuk. Di dalam perumahan yang lumayan besar itu seenaknya Rere memasuki blok demi blok. Ia berharap Dea kehilangan jejaknya.
Setelah cukup lama berputar-putar di perumahan itu dan setelah yakin Dea kehilangan jejaknya, Rere berniat keluar menuju jalan raya. Namun, Rere tak ingat ke arah mana jalan keluar. Sementara tak ada seorang pun yang dapat Rere tanyai.

Di saat Rere tengah kebingungan sebuah suara memanggilanya, “Re!”
Kepalanya Rere celingukan mencari asal suara.
“Re! Rere!” Panggilan itu bertambah kencang.
Di sebuah rumah bercat warna-warni yang hanya berjarak beberapa meter, Rere melihat seorang cowok yang memanggil-manggilnya. Cowok itu tersenyum kepadanya. Cowok itu adalah Riki. Rere balas tersenyum, namun terlihat kaku. Sejak kacamatanya semakin menebal sikap Rere pada lawan jenis memang jadi dingin. Sesunguhnya itu semua karena rasa minder Rere.
Riki berjalan keluar dari gerbang rumahnya menghampiri Rere. “Elo sedang ngapain di sini, Re?”
“E… anu,” Rere jadi bingung harus menjawab apa. “Abis dari rumah temen,” lanjut Rere berdusta.
“Temennya di blok apa?”
“Di blok O,” jawab Rere sekenanya.
“Kok ada di blok ini?”
“Sebenernya gue mau ke jalan raya, tapi kayaknya gue nyasar.”
Riki lagi-lagi tersenyum. Jantung Rere jadi berdebar-debar melihat senyuman itu. Ah, Riki memang tampan. Betapa bahagianya cewek yang dapat menjadi kekasihnya, batin Rere.
“Nanti gue anter. Sekarang mampir dulu, yuk,” ajak Riki.
“Aduh thanks deh, Rik. Gue mau pulang aja,” tolak Rere.
“Kenapa? Nanti gue anter deh, bukan hanya sampe jalan, tapi sampe ke rumah lo.”
Rere serasa tak mempercayai pendengarannya. Masa cowok sekeren Riki mau mengantarnya pulang.
“Udah deh, mampir dulu yuk,” Riki menarik lembut lengan Rere. Dengan jantung yang kian kencang berdebar, Rere mengikuti kemauan Riki.
Setelah keduanya duduk di bangku teras, Riki langsung melontarkan pertanyaan, “Eh, iya, Dea nyampein salam gue enggak?”
Rere terkejut. Ia tak mengira apa yang dikatakan Dea itu benar adanya.
“Nyampein enggak?” tanya Riki lagi.

“Apa maksud elo nitip salam ke Dea untuk gue?” tanpa menjawab Rere malah balik tanya. Matanya menatap tajam ke wajah Riki.
“Elo mau gue berkata jujur?” Riki balas menatap mata Rere.
Rere mengangguk.
“Gue… gue suka elo.” Suara Riki terdengar bergetar.
“Bohong! Elo jangan coba permainkan gue, Rik!” Nada bicara Rere tiba-tiba meninggi.
“Kenapa, elo enggak percaya, Re?”
Rere bangkit dari duduknya dan bergegas mininggalkan tempat itu.
“Re, tunggu gue, Re.” Riki mengejar dan menangkap lengan Rere. “Kenapa elo? Elo enggak suka denger kejujuran hati gue?”
“Elo pasti ingin permainkan gue `kan?” Kedua mata Rere melotot.
“Swear.” Riki mengacungkan kedua jarinya.
Rere malah menangis. “Siapa yang ngebayar elo untuk ngelakuin sandiwara ini? Siapa Rik? Pasti Bela `n gengnya `kan?”
“Apa maksud elo, Re? Gue enggak ngerti.” Di raut wajah Riki terpancar rasa kebingungan.
“Elo pasti dibayar orang untuk mempermainkan perasaan gue. Elo buat gue geer terus elo akan hancurkan hati gue!”
“Gue masih enggak ngerti, Re….”
“Udah deh, Rik, elo jangan main sandiwara lagi. Enggak mungkin elo suka ama cewek kayak gue ini. Masih banyak cewek cantik yang mengharapkan elo. Sedangkan gue hanya cewek buruk berkacamata tebal.” Tangis Rere semakin menjadi.
Riki menyeka airmata Rere dengan dua ibu jarinya. “Re, kenapa elo enggak percaya dengan perkataan gue? Apakah cinta itu harus tumbuh karena keindahan fisik semata? Enggak, Re. Elo punya kelebihan kepintaran. Satu anugerah yang sifatnya lebih abadi ketimbang kecantikan. Re, elo percayakan kalo gue emang suka elo? Gue ingin punya pacar pintar seperti elo.”
Rere tetap saja menangis. Ia tak tahu perkataan Riki benar atau dusta. Namun, dalam hatinya Rere berdoa, semoga yang dikatakan Riki memang benar.

LAILA & MAJNUN

Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”

Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”

Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telahmemperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.

Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.

Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.

Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba
waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.

Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.

Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”

Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun
duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.

Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.

Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.

Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.

Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.

Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.

Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.
Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah
Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali
detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan
lupa waktu.

Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di
luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah
seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan
kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila,
maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan
kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.

Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap
pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah
Laila, bahkan
dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan
bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama
lain, sungguh ia salah besar.

Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk
mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah
kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun
disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang
tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau
tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu
“Cinta dan Kekayaan”.

Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku
sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia
dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku
menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan
terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku
kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya.
Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan
iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan
kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku,
akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”

Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu
anaknya adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak
yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang
dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya.
Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan
diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,”
pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”

Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta
makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu,
gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa
mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun
diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan
sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai
kesamaan dengan yang dimiliki Laila.

Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya
punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip
Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya,
Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu
hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang
dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha
mengelabuinya.

Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya
sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga
akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini,
ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah
dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang
menghancurkan ini.

Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah,
tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para
Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal
saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa,
cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi
yang bisa ia lakukan untuk anaknya.

Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang
banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia
tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal
direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal
didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang
Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya.
Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa
Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan
bumi.

Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada
sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan
rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya
compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak
beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di
kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan
pandangan ke arah kejauhan.

Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa
yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu
bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya
dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan
menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam
kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga
lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas
itu.

Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui
bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas
seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang
musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada
Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang
musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.

Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya,
sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir
ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan
bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk
menjemputnya.

Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah
Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya
terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar
Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang
ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai
ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong
lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan
beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk
mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan
terakhir mereka.

Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani
situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh
keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat
Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia
berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.
Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah
syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia
diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas
kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam
potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara
demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.

Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang
mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu
bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya
melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.

Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu
tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan
kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah
seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam
perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat
terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.

Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia
bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua
kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!
Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan
ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak
orang yang terbunuh atau terluka.

Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan
pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan
putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin
membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah
bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.
Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan
pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit
dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka
dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.

Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa
ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa
kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian
bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang
dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun
memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa
mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.

Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia
nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya
menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan
serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari
ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja
menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui
perkawinan itu.

Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih
senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan
permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja
keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila
merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.

Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa
mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena
itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin,
masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar
kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa
waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa
Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan
meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat
hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut
menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang
berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya
ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan
ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus
tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah
menjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas
perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya
meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku,
sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah
lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya
akan memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda
pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam
hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian
lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu
ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau
membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik
orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk
cinta, engkau ataukah aku?.

Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap
tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang
sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat
binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan
syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya
pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.
Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai
kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang
sanggup mengusik dan mengganggunya.

Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil
mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian
dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam
sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa
pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya.
Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan
hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar
dengan Laila.

Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia
ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat
singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab
hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim
panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk
perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam,
padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama
dirindukannya.

Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya
sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya
dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah
ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana,
yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin
membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan
dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam.

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya
hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup
bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa
bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia
masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi
untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu
kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia
akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu
malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal
dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama
kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu,
ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri
selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju
desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas
tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar
kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya,
per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal
dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama
setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan
kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas
kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu
adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di
samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini
bersatu kembali.

Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir
di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan
mendudukkannya disisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah
engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum
anggur Cinta-Ku?”

Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan
sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun
bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiran
ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya,
“Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia
Cinta dalam dirinya sendiri.”

SEBAB CINTA HARUS DI UPAYAKAN

Suatu kali seorang teman bertanya
kepada saya:
“Lady, ada 2 pilihan untukmu.
Menikah dengan orang yang kau
cintai
mencintai orang yang kau nikahi
Mana yang kau pilih?”
Saat itu spontan saya memilih yang
kedua: mencintai orang yang saya nikahi (menikahi saya).
“Kenapa?”
Hhm… iya ya, kenapa?

Sebab jodoh adalah hal yang pasti,
meski masih menjadi misteri bagi orang-orang yang belum menemukannya.
Sedangkan mencintai adalah hal yang berbeda. Mencintai seseorang saat
belum ada hak atasnya, bagaikan menggenggam bara. Jika Allah berkenan
menjadikannya pendamping seumur hidup, maka bara itu akan menjelma
menjadi energi untuk meciptakan kebersamaan yang indah. Tetapi, jika
Allah tidak berkenan mempersatukan, bara itu akan membakar, dan bisa
jadi menghanguskan diri sendiri.

Lebih dari itu, pilihan kedua rasanya
lebih aman dari berbagai penyakit hati, yang bisa jadi mengotori niat
suci menikah karena Allah.

Itu jawaban saya saat itu. Tetapi,
beberapa jenak setelah itu, saya termenung, mencoba berfikir lebih
dalam dan menyelami jauh ke dalam lubuk hati. Lalu, saya pun
meneruskan pertanyaan itu ke temen saya yang lain.
Dan dia menjawabnya sama dengan jawaban
saya.

Tetapi, saya ragu atas jawaban itu,
benarkah begitu?
Pilihan pertama, menikah dengan orang
yang saya cintai, mengalirkan energi dan semangat untuk meraih
sesuatu yang menjadi dambaan hati. Dan tentu adalah hal yang sangat
menyenangkan bisa berdampingan dengan orang yang dicintai, tidak ragu
mengumumkannya kepada public, tidak malu mengekspresikannya, sebab
cinta itu sudah dilegalkan.

Pilihan kedua, mencintai orang yang
saya nikahi, hhmm… pasrah, menerima nasib. Ah tidak, saya
menterjemahkannya menjadi bentuk syukur kepada-Nya. Sebab apa yang
telah Allah pilihkan untuk kita, tentu itulah yang terbaik. Maka,
kenapa tidak memaknai rasa syukur itu dengan mengupayakan cinta,
menumbuhkan dan merawatnya.
Bukankah jika saat ini saya mencintai
seseorang (padahal belum ada hak saya atasnya), itu tidak tumbuh
begitu saja? Ada masa-masa, ada hal-hal, ada peristiwa yang membuat
saya mencintainya. Lalu, kenapa hal-hal itu tidak bisa ditumbuhkan
kepada orang yang sudah Allah pilihkan untuk saya?
Tetapi, sekali lagi, betapa
menyenangkan jika yang pertamalah yang menjadi pilihan, menikah
dengan orang yang saya cintai, sebagaimana Fathimah yang menikah
dengan Ali, sebagaimana Khadijah yang menikah dengan Muhammad.
Tetapi, kalaupun akhirnya Allah
memilihkan orang yang lain, maka pilihan kedua pun bukan hal yang
tidak menyenangkan. Tidak ada yang tidak mungkin. Sebab cinta memang
harus diupayakan.
Bagaimana dengan anda? Apakah akan
menikah dengan orang yang anda cintai, atau akan mencintai orang yang
anda nikahi?

——————————————–
Dialog hati awal Ramadhan. Aku ingin
mewujudkan pilihan pertama, tetapi andai Allah tak berkenan, semoga
Ia memberi energi untuk mengupayakan pilihan kedua.

Kisah sawerigading


Sawerigading adalah tokoh utama dalam naskah la galigo meskipun bukan sebagai tokoh yang paling banyak berperan dalam pengisi alur dari awal sampai akhir dalam epos la galigo. Tetapi Sawerigading lah awal dari segala penyebab terjadinya semua peristiwa dan kejadian dalam epos la galigo.

Berdasarkan silsilah menerangkan bahwa Sawerigading adalah Cucu dari bataraguru yang mempunyai nama asli la togeq langiq penguasa bumi Sedangkan Nenek Sawerigading berasal dari kerajaan Buriq Liu (Kerajaan Bawah Laut/Air) Ketika Batara guru pertama kali Turun Ke bumi ia ditempatkan di atas bamboo Betung nah dari sinilah asal muasal Nama Sawerigading yang dimana terdiri dari 2 kosa Kata yakni Sawe dan ri rading yang dimana Sawe Artinya Menetas Dan Ri Gading yang artinya Di atas bambu betung. jadi Arti Sawerigading yakni Keturunan Dari Orang Yang menetas diatas Mambu Betung. Kemudian bataraguru mempunyai anak yang bernama batara lattuq yakni Bapak Sawerigading yang selanjutnya menjadi Cikal bakal Raja-raja Dibumi (kerajaan luwuq/bugis)

Bagaimana Seorang anak dewa yang menghidupkan Orang-orang yang yang telah Mati setelah selesai berperang hanya dengan sesajen dan setuhan dari keris Sawerigading, Mendatangkan dan menghentikan amukan alam yang sangat ganas hanya dengan telunjuk Sawerigading, Sawerigading mampu berkomunikasi dengan binatang seperti halnya Sawerigading berkomunikasi dengan seekor Burung yang bernama La Dunru yang menyuruhnya menyampaikan pesan ke We Tenriabeng untuk naik ke botting Langiq untuk melaksanakan pernikahannya. Semua kejadian-kejadian tersebut membuktikan kebesaran dan kemahakuasaan Sawerigading dalam keturunan Dewa. Itulah sebabnya ia diberikan gelar Pamadeng Lette (Sang Pemadam Halilintar), Langiq Paewang (Sang Penggoyah Langit).

Karena Sawerigading telah menjelma sebagai manusia di bumi, maka ia tak lebih dari manusia-manusia lainnya yang berada di bumi yang dimana mempunyai kekurangan-kekuarangan sebagai manusia bumi. Bukti kemanusiaan Sawerigading ketika pada peperangan yang membuat sawerigading meminta bantuan kepada penguasa langit yang dimana Remmang ri langiq suami dari We Tenriabeng turun kebumi untuk membantu sawerigading untuk berperang saat Remmang ri langiq tiba di bumi, ia langsung memerintahkan Sawerigading untuk menyembah Remmang ri langiq sebanyak tiga kali sebagai bukti kemanusiaan sawerigading dengan pengakuan eksistensi ke dewaan Remmang ri langiq.

Sawerigading merupakan sosok manusia bugis yang mempunyai watak yang berdimensi ganda yakni cinta dan dendam, benci dan saying, tegar dan cengeng, lembut dan kasar, halus dank eras sejauh mana sifat tersebut mengejawantan dari pribadi sawerigading, bergantung dari rangsangan-rangsangan yang diterimanya dari luar ia tidak menerima kompromi hanya ada dua pilihan hitam atau putih

Karena itu, gambaran tentang sawerigading tidaklah sesempurnah dengan tokoh-tokoh pangeran yang seperti kita dengar sebelumnya. Kadang-kadang ia sangatlah cengeng sampai menangis terisak-isak lalu ia ditergur oleh pengawalnya agar ia berhenti dan tegap menghadapi kenyataan hidup dengan tegar. Hal seperti ini dapat dilihat ketika cinta sawerigading kepada adik kembarnya we tenriabeng ditolak oleh dewan adapt. Sawerigading juga memiliki sifat yang mudah tersinggung, emosianal, dan sering mengamuk sambil bembabi buta bila perasaan atau sirinya tampa mempertimbangkan resikonya.

Namun sebagai seorang pangeran ia juga memiliki sifat kejantanan dan keperkasaan. Sebagai putra bangsawan sawerigading seorang tokoh yang besar sebagai salah satu tanda kebesaran sawerigading ia selalu menggunakan pakaian kebesaran raja yang semua terbuat dari emas, berupa paying kebesaran yang terbuat dari emas, cincin emas yang semuanya rutun dari langit yang dibawah oleh leluhurnya, dipinggangnya selalu melekat keris emas sebagai symbol keberanian dan kejantangannya.

Ada 4 sifat yang melekat pada Diri Sawerigading yakni
1. Getteng (Teguh pendirian)
2. Warani (Berani)
3. Lempuq (Jujur)
4. Macca (Pintar)

Ketegukan Sawerigading dalam mempertahankan Prinsipnya sangat lah kuat ini dilihat ketika berbagai cobaan dan godaan yang dating tidak menggetarkan semangatnya untuk tetap menggulung layer perahunya sebelum sampai di tujuannya. Godaan-godaan tersebut bukannya menyulutkan hati Sawerigading untuk pergi ke cina malahan cobaan-cobaan tersebutlah yang semakin membakar semangatnya untuk mencari cina. Maka dari itu Sawerigading juga dipanggil dengan sebutan La mampuara Elo (Orang yang tek terbantahkan). Untuk mempertahankan sifat Getteng (Teguh pendirian) harus dibarengi sifat Keberanian nya juga. Keberanian Sawerigading tertantang ketika Sewerigading dihadapkan oleh dua ancaman yakni Ancaman dalam dirinya sendiri dan kekuatan yang berasal dari luar diri manusia ketika iya dihadapkan bujukan, rayuan dan sesuatu yang mempesona yang dapat menlonggarkan dan melepaskan prinsip hidupnya. Disini membutuhkan keberanian moral yang luar biasa ketika mempertahankan yang mana dianggap benar dan dianggapnya salah
Nama-nama lain Sawerigading yang sering muncul dalam Epos La Galigo yakni, To Appanyompa (Orang yang disembah), La Maddukelleng, Langiq paewang (sang penggoyah langit), pamadeng lette (Pemadam halilintar), Sawe Ri sompa (Keturunan Orang yang disembah), La Pura Eloq (Orang Yang tak terbantahkan kemauannya), La Datu Lolo (Raja Muda), La Oro Kelling (Orang Oro kelling), La Tenritappuq (orang yang tak terkalahkan)

Karena itu dalam diri Sawerigading memiliki darah murni sang dewata sebagai perpaduan antara Dewa Langit (Bonting Langiq) dan Dewa bawah laut (Buriq Liu) yang ditempatkan di bumi sebagai penguasa. Karena anak dewa ini telah menjelma menjadi manusia maka seluruh kegiatannya dimuka bumi dilakukan dalam bentuk kehidupan manusia secara normal. Dengan demikian seorang tokoh Sawerigading mempunyai dua Sifat yakni Sifat nya sebagai anak dewa yang memiliki kemahakuasaan dan sifat kemanusiaannya yang nampak dalam aktifitas kesehariannya sebagai manusia

Keteguhan dan keberaniannya Sawerigading itu bukan saja terlihat dalam beberapa peristiwa kepada musuh-musuh sawerigading melainkan dalam hal mengungkapkan sejarah leluhurnya, perasaan hatinya, kebahagiaannya, maupun perasaan lain yang seharusnya di pendalam dalam hati. karena itu sifat teguh dan keberaniannyahanya dapat bila diiringi dengan kejujuran dalam bersikap, berbicara, maupun dalam bertindak.

Kejujuran yang dimaksudkan bukan saja jujur sesame manusia tetapi juga kepada diri sendiri dan kepada Dewa. Kejujuran Sawerigading terlihat saat Sawerigading berterus terang dan terbuka kepada pengawal-pengawalnya dan musuh-musuhnya. Kejujuran yang paling dramatis dalam kisah Sawerigading dalam epos la galigo yakni ketika sawerigading tidak berdaya melawan perasaan cintanya kepada saudara kembarnya yakni we tenriabeng. Sawerigading harus mengungkapkannya walaupun ia mengetahui resikonya sangatlah berat.

Peran Sawerigading sebagai tokoh magis terlihat saat para pasukan sawerigading kewalahan menghadapi pasukan-pasukan la tenrinyiwiq, sawerigading tumpuan terakhir dari mereka agar kiranya memohon kepada dewa untuk menurunkan bantuan di dunia dalam waktu sekejap bantuan itu turun dari langit dan menghancurkan pasukan-pasukan la tenrinyiwiq. Sedangkan peran Sawerigading sebagai seorang keturunan dewa ketika Sawerigading menghidupkan pasukan-pasukannya yang mati dalam peperangan, mendatangkan dan memberhentikan bencana yang dibuat oleh alam dan dapat berbicara kepada binatang-binatang

Peran Sawerigading sebagai raja terlihat ketika tahluknya para pengawal dan pasukan-pasukan sawerigading dalam perintahnya dialah penentu kebijaksanaan diatas perahu yang dikendarainya untuk mencari cina. Memerintah dan menjalankan tradisi kekuasaan yang diwarisi oleh leluhurnya.

Meskipun demikian Sawerigading bukannya seorang raja yang otoriter, segala sesuatu yang berhubungan dengan operasinalisasi kekuasaan dan pelaksanaan kerajaan dilimpahkan kepada para pembantu-pembantuhnya. Sawerigading adalah Seorang raja yang besar dan tak tertandingi, perahunya besar dan banyak perahu-perahu kecil yang mengiringinya,pasukan yang ribuan sebagai bukti akan kekuasaannya. Tujuh kali pasukan Sawerigading berperang dalam pencarian tanah cina enam pimpinan musuhnya semua mati dan kepalanya digantung diperahu sawerigading sebagai tandak keperkasaannya menumpas musuh.

Datuk Museng & Maipa deapati


Bukan hanya cerita Sawerigading yang di abadikan sebagai cerita percintaan sejati di tanah Sulawesi. Ada juga Cerita Percintaan Klasik yang tidak kalah serung yang dimana cerita ini mengangkat Kisah Datu Museng dan Maipa Deapati. Percintaan Anak Raja Gowa yang melarikan di dari Makassar ke Sumbawa dikarenakan taktik adu domba belanda dan jatuh cinta kepada Maipa Deapati Putri Sultan Lombok

Cerita bermula ketika terjadi kekacauan di Butta Gowa, akibat adu domba Penjajah Belanda. Addengareng terpaksa melarikan diri dengan cucunya Datu Museng menyeberangi lautan ke Negeri Sumbawa.

Datu Museng tumbuh menjadi dewasa dan bertemu dengan Maipa Deapati di Pondok Pengajian Mempewa. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Namun cintanya menjadi cinta terlarang karena Maipa Deapati telah ditunangkan dengan Putera Sultan Lombok, Pangeran Mangalasa.
Setelah Kakek Datu Museng Addengareng mengetahui bahwa cucunya Mencintai Maipa Deapati Kaget bukan Kepala. Karena analogi sang kakek mereka Hanyalah Emas yang sudah dilumuri dengan Lumpur sedangkan Puti Maipa Deapati Anak Sultan Lombok. Setelah menimbang Addengareng menyuruh Cucunya Datu Museng Berkangkat Ke Mekkah Untuk belajar Ilmu Agama (Ilmu Iklas).

Setelah kembali dari Tanah suci datu museng merasakan rindu akan Maipa Deapati dan ingin melihatnya. Ternyata Sang Putri Maipa terbuju Sakit. Datu Museng langsung menolongnya dengan Ilmu yang di dapatnya di Tanah Suci Mekkah

Kecemburuan pun terjadi pada Pangeran Mangalasa melihat Maipa Sudah jatuh cinta terhadap Datu Museng. Sang Pangeran Mangalasa pun bersekutu dengan belanda untuk menbinasakan datu museng. tapi memang Datu Museng yang dikenal Sakti itu mampu mengalahkan Pangeran Mangalasa dan serdadu belanda.

Akhirnya Sultan Lombok Menikahkan Datu Museng dan Putrinya yang tercinta Maipa Deapati dan Datu Museng diberikan Pangkat Panglima Perang. Tapi belum beberapa lama menikah, berhembus kabar di tanah makassar telah terjadi kekacauan. Sultan Lombok menyuruh Datu Museng berangkat ke Makassar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut

Datu Museng bersama istrinya kembali ke Makassar. Namun kapten Belanda justru jatuh cinta kepada Maipa Deapati. Kapten ini berusaha menembak Datu Museng namun Maipa menjadikan tubuhnya untuk melindungi suaminya.

Adapun perkataan Maipa Deapati kepada datu museng pada saat terbaring di pangkuan nya

Daengku Datu Museng, permata hatiku, Tak kan ku gentar walau jiwa melayang, Kebimbangan telah kucampakkan, sebab keyakinan telah kupastikan, Perahu kematian siap kutumpangi. Kemudi telah ku…kuh di tangan, Telah kutetapkan haluan menyongsong tujuan, Pada kematian yang hangat dan menyenangkan

Maipa meninggal saat menghalang peluru yang hendak ditembakkan ke Datu Museng. Datu Museng teringat dengan janji cintanya sehidup semati. Ia pun melepaskan semua jimat dan kesaktiannya dan membiarkan Kapten Belanda menembaknya.

NAMA BAIK


Alkisah pada suatu ketika, Angin, Air dan Nama Baik sedang mengadakan perjalanan bersama-sama.

Angin, biasa datang terburu-buru seperti orang yang sedang marah. Bisa melompat di sini dan menendang debu di sana.

Air berjalan dalam bentuk seorang putri. Ia selalu membawa kendi ditangannya, meneteskan beberapa air di atas tanah sekitarya.

Nama Baik berwujud dalam seorang pemuda yang tampan dengan sikap-sikap yang baik, namun sedikit pemalu.

Mereka saling menyukai, meskipun mereka sangat berbeda satu sama lain. Ketika mereka harus berpisah, mereka bertanya, "Kapan kita bisa bertemu untuk mengadakan perjalanan yang lain lagi?"

Angin menjawab, "Engkau akan selalu menemukan aku di puncak gunung-gunung atau melompat-lompat di sekitar kakimu. Meniup debu ke mana kamu pergi."

Air berkata, "Aku juga akan selalu ada disekitarmu. Kamu bisa pergi ke laut atau sungai, bahkan ke dapur, untuk menemuiku."

Nama Baik tidak mengatakan apa-apa. Angin dan Air bertanya, "Nama Baik, kapan dan dimana kita akan bertemu lagi?"

Nama Baik menjawab, "Kamu tidak akan bertemu aku lagi di manapun. Siapapun yang telah kehilangan aku sekali saja, takkan pernah bisa mendapatkan aku lagi."

Mengapakau Tidak Mempercayaiku?

Ada satu kebiasaan yang disukai Musa dengan kotanya, Serang. Bahwa di sana senimannya kompak. Setiap tiga bulan sekali para seniman sering tampil di alun-alun kota. Yang pelukis mengadakan pameran lukisan, begitu juga dengan seniman lainnya. Mereka mempertontonkan kemampuan seninya. Biasanya acara dipusatkan pada malam hari. Masyarakat Serang tentu saja sangat senang dengan kenyataan ini. Orang tua, muda-mudi, menghabiskan sebagian malamnya di alun-alun kota.
Besok adalah hari Minggu, di mana pertunjukan kesenian tiga bulanan itu akan dilaksanakan. Sejak pagi sabtu ini, alun-alun sudah dirias. Belasan orang tampak menyiapkan lukisan-lukisannya untuk dipamerkan. Begitu juga dengan panggung, sudah diset. Sebagian masyarakat sudah pada berdatangan. Mereka begitu asyik dengan kebudayaan ini.
Musa, seorang anak SMA yang bangga kepada kotanya ini merogoh sakunya. Handphone-nya bergetar. Ia tatap monitornya, Tyka memanggil. Lalu handphone tersebut didekatkan ke telinga.
“Hallo, Tyka!”
“Ya, aku!” jawab Tyka. “Eh Musa, kamu jadikan ngajak aku malam ini nonton di alun-alun?”
Musa tidak menjawab.
“Tadi pagi aku sempat lewat ke alun-alun, lho. Rame banget. Kayaknya malam ini acaranya akan bagus.”
“Ya, aku juga tahu. Sekarang aku ada di alun-alun.”
“Yang bener?”
“Iya.”
“Tapi kamu kan janji mau ngajak aku nonton?”
“Mmm, gimana ya? Aku dengar Mama kamu sedang sakit. Terus Papa sedang tidak ada.”
“Iya sih.”
“Terus kalau kamu jadi nonton bareng aku, yang ngejagain Mama siapa?”
“Gak ada. Tapi mama sudah ngizinin, kok.”
“Ngizinin sih ngizinin. Tapi yang ngejagain siapa? Kalau ada apa-apa bagaimana?”
“Kata Mama, sakit Mama tidak parah. Mama masih bisa ngambil obat sendiri.”
Pembicaraan mereka agak lama terhenti. Lalu Musa bicara lagi. “Kalau boleh aku ngusulin, kamu nggak usah nonton deh. Sayang sama Mama nggak ada yang ngerawat….”
“Kok kamu begitu sih. Kamukan udah janji sama aku.”
“Iya, aku emang sudah janji. Tapi sekarang kondisinya berubah.”
“Nggak mau, aku pengen nonton. Kamu tidak boleh ingkar janji. Kamu udah janji abis magrib mau jemput aku.”
“Maaf Tyka. Aku tidak bisa. Kamu harus ngejagain Mama.”
“Kata Mama, nggak apa-apa ditinggalin, aku boleh nonton.”
“Nggak, kamu nggak boleh nonton. Kamu harus sayang sama Mama. Aku sendiri tidak akan ngejemput kamu. Aku akan nonton sendirian saja.”
“Bodo! Kamu nggak jemput, aku akan datang sendiri.”
“Aku bilang, kamu jangan nonton. Kamu harus jagain mama!”
Klik, Musa langsung menekan tombol ‘no’. Tombol tersebut ia tekan beberapa lama hingga HP-nya tidak aktif.
Musa membuktikan kata-katanya. Janjinya untuk menjemput Tyka ia batalkan. Beberapa kali panggilan Tyka tidak diangkatnya. Beberapa SMS Tyka masuk. Musa membacanya. Tapi tak satupun yang dibalasnya.
Malam itu Musa jalan sendiri dari rumahnya yang tidak terlalu jauh dari alun-alun. Yang ditujunya tidak ada tempat lain selain alun-alun. Selain dirinya, ratusan orang bergerak ke sana. Mereka tentu akan menikmati tontonan tiga bulanan ini. Di sana ada pameran lukisan, pentas teater, pertunjukan wayang golek, dan lain sebagainya. Semua dilaksanakan serempak. Setiap orang dipersilakan memilih pertunjukan yang disukainya.
Karena acara dimulai pukul delapan, sementara sekaran baru pukul enam tiga puluh, Musa memanfaatkan waktu yang ada dengan melihat-lihat pameran lukisan. Meskipun dia tidak bisa melukis, tapi dia sangat suka. Lukisan demi lukisan diperhatikannya. Nama pelukis dan harga yang tertera pada lukisan tidak luput diperhatikannya. Kalau saja murah dia pasti membelinya. Ini harganya puluhan juta, Bro!
Musa terus bergerak perlahan, dari satu lukisan ke lukisan berikutnya. Brosur yang kebetulan disediakan juga diambilnya. Tapi tidak dibacanya. brosur itu dimasukan ke kantong jaketnya. Dibacanya nanti saja. Sekarang acaranya menikmati lukisan-lukisan ini.
Sampai di satu lukisan, Musa kembali terdiam. Di sampingnya seorang gadis juga sedang mengagumi lukisan itu. Musa memperhatikan gadis tersebut. Perasaan dia pernah melihatnya. Tanpa sengaja gadis yang diperhatikannya menatap Musa. Musa jadi tidak enak.
“Maaf, kakak namanya Musa kan?”
Mendengar sapaan itu, Musa merasa nyaman. “Iya, namaku Musa. Perasaan aku pernah lihat kamu.”
“Masak Kakak sudah lupa aku. Aku Laela, adik kelas Kakak!”
Musa masih tampak berfikir.
“Kakak bener-bener lupa atau pura-pura nih. Inget nggak seminggu yang lalu, di depan gerbang sekolah kita kenalan?”
“Oo, iya, iya. Aku inget.” Musa tersenyum. “Kamu sendirian?” tanya Musa kemudian.
“Iya nih. Habis belum punya pacar sih. He he he. Kakak sendirian juga?”
“Iya!”
“Pacar Kakak ke mana?”
“Lagi ngejagain Mamanya.”
“Emang Mamanya kenapa?”
“Sakit.”
“Oo…”
Tiba-tiba HP Musa berbunyi. Sebuah SMS masuk. Musa membacanya. SMS tersebut dari Mamanya Tyka: Musa, mama minta tolong Tyka suruh pulang. sakit mama kayaknya kambuh. Tolong Sayang ya?
Musa jadi tercenung. Berarti Tyka membuktikan kata-katanya, bahwa dirinya akan tetap nonton sekalipun Mamanya sedang sakit. Ada perasaan kecewa dalam hati Musa, kenapa kekasihnya tidak menuruti usulannya. Sekarang dia tidak tahu Tyka posisinya ada di mana. Alun-alun kota ini sendiri luas. Musa juga yakin Mamanya Tyka sudah menghubungi Tyka. Tapi tidak nyambung. Akhirnya yang dilakukan Musa adalah membalas SMS itu. “Mah, sya tdk nnton bareng Tyka. Tadi sore sdh sya blng ke Tyka agr jga ma2. Tapi klo Tyka emng nnton, sya akn mncarinya.”
Musa lantas menatap Laela. “Acaranya banyak, kamu mau nonton apa?”
“Aku pengen nonton wayang golek. Kakak mau nonton apa?”
“Aku belum tahu. Mungkin wayang golek juga.”
“Kalau begitu kita jalan bareng aja yuk?”
Musa mengangguk. Keduanya lalu pergi meninggalkan ruang pameran. Sekalian mencari Tyka, batinnya. Setelah membalas SMS ke Mamanya Tyka, tadi Musa juga mengirim SMS ke Tyka memberi tahu agar dirinya pulang. Terus Musa juga nanya di mana posisi Tyka. Tapi SMS itu malah pending.
Bulan di sebelah timur bulat. Ukurannya besar. Langit tampak jernih, tidak ada mendung di sana. Awan putih tampak seperti kapas yang terhampar. Betul-betul indah. Sementara di alun-alun orang-orang sudah banyak. Ada yang berjalan, ada juga yang duduk-duduk di atas koran atau tikar. Orang-orang ini tersebar mengelilingi masing-masing pertunjukan yang disukainya.
Tiba di dekat panggung wayang golek, Musa dan Laela berhenti sebentar.
“Kakak bener mau nonton wayang golek? Kalau nggak, nggak apa-apa aku ditinggalin.”
“Aku belum tahu mau nonton yang mana. Kayaknya semuanya rame. Tapi untuk sementara, bolehlah kita nonton wayang golek dulu.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau nontonnya bagian depan?”
Musa mengangguk. Keduanya kembali pindah. Tidak jauh di depan panggung mereka duduk di tanah tanpa alas. Bunyi gong dan calung sudah terdengar, meskipun pertunjukan belum dimulai.
“Kamu mau makan apa?” tanya Musa. Kebetulan tidak jauh dari mereka ada yang jualan jagung dan kacang rebus.
“Mau nraktir nih ceritanya? Apa aja deh.”
Lalu Musa pesan dua jagung dan satu bungkus kacang rebus. Sambil menunggu pertunjukan dimulai, mereka terus ngobrol sambil menikmati jagung dan kecang rebusan yang baru saja dipesannya.
Setelah agak lama, pertunjukan wayang golekpun dimulai. Dan Musa memutuskan untuk menontonnya bareng dengan Laela. Beberapa menit kemudian, pandangan musa terhalang oleh orang yang berdiri di depannya. Musa merasa terganggung.
“Maaf yang berdiri tolong duduk!” teriak Musa.
Yang berdiri di depan Musa melirik. Dia merasa kenal dengan suara yang menyuruhnya. Begitu berbalik, yang kaget tidak hanya dirinya, melainkan juga Musa.
Gadis yang tadi menghalangi pemandangan Musa menghampiri. “Jadi kamu ngelarang aku nonton karena udah punya janji dengan pacar baru kamu?” tanya Tyka marah.
“Tyka, dengar dulu. Pacar aku itu hanya kamu.”
“Bo’ong! Buktinya dia.”
“Ya ampun, Tyka. Tidak boleh cepat menuduh. Kamu tahu dia siapa? Dia itu adik kelas aku. Aku saja baru kenal satu minggu ini.”
“Aku tidak mau tahu. Yang pasti kamu sudah nyakitiin aku. Kamu udah janji sama aku, kamu malah mengingkarinya. Kamu malah nonton dengan gadis lain. Kamu malah membiarkan aku nonton sendirian!”
“Tyka, dengar aku dulu. Pacar aku itu hanya kamu!”
“Kalau begitu kenapa kamu nonton bareng dia?!”
“Kebetulan aku ketemu di sini. Aku tinggalkan dia sekarang juga, dia tidak merasa ada masalah.”
“Lalu kenapa kamu tidak jadi ngajak aku nonton?”
“Tyka, Mama kamu kan sedang sakit.”
“Aku kan sudah bilang kalau Mama udah ngizinin!”
“Kamu tidak tahu Mama kamu ngubungin aku. Kamu katanya harus pulang. Coba buka HP kamu. Pasti SMS udah numpuk di sana. Aku juga udah kabari kamu kalau Mama kamu nyuruh kamu pulang!”
“HP-nya nggak aku bawa!”
Musa menghela nafas. “Kalau begitu, ayo aku antar pulang,” suara Musa pelan. “Aku khawatir ada apa-apa dengan Mama.”
“Ya sudah kalau begitu. Aku mau ke rumah kamu sekarang. Dan kamu jangan pernah menyesal kalau hal buruk terjadi pada Mama kamu.”
Setelah pamit kepada Laela, Musa lalu pergi. Tyka mengejarnya. “Kamu mau kemana?” tanya Tyka.
“Aku mau ke rumah kamu!”
Sampai di rumah Tyka, tidak ada siapa-siapa. Kata tetangga Mama Tyka sudah dibawa ke rumah sakit. Tyka kaget. Tyka dan Musa segera menuju ke sana. Dan memang, kata dokter jaga, Mama Tyka dengan di rawat di ruang gawat darurat. Dengan wajah sedih Tyka menatap Musa, kekasihnya. Perlahan dari sudut matanya air mengalir perlahan.
“Kenapa kamu sampai tidak percaya ke aku,” suara Musa pelan. “Aku melarang kamu nonton bukan karena aku mau pacaran lagi. Aku melarang kamu karena aku sayang sama kamu dan Mama kamu. Aku kan sudah pernah bilang, kalau aku tak akan ke mana.”
Tyka mengisak.
“Sudahlah,” kata Musa lagi. “Sekarang hubungi Papa kamu. Katakan kepadanya kalau Mama masuk ruang gawat darurat.”


OLEH :IBNU ADAM VICIENA